Jumat, Juli 31, 2009

JALAN PANJANG MEMAKNAI KEMERDEKAAN

Detik-detik hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh setiap tanggal 17 Agustus usai sudah kita peringati. Inilah klimak perjuangan bangsa ini setelah puluhan tahun hidup dalam penjajahan. Di hari itulah bangsa ini secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya. Kini, Genap 64 tahun sudah bangsa Indonesia merdeka. Euforia kebanggaan dan kemeriahan dalam memperingati hari bersejarah diwujudkan dengan pelbagai macam kegiatan yang secara serentak diadakan di seantero pelosok negeri.


Yang lebih dramatik lagi, ketika kita melakukan upacara pengibaran bendera sangsaka merah putih, dengan menyanyikan lagu berjudul “Hari Merdeka” gubahan H. Mutahar maka yang hadir dalam hati sanubari kita adalah rasa bangga dan semangat berkobar-kobar dalam rangka mensyukuri dan mengisi kemerdekaan. Lagu ini benar benar menjadi inspirator seluruh anak bangsa Indonesia tanpa mengenal batasan usia, ras, suku, ataupun agama apapun. Namun, jika kita telisik lebih dalam, ada suatu esensi yang hilang dari semangat rakyat Indonesia yang menyanyikan lagu tersebut. Bagian yang hilang itu adalah memaknai kemerdekaan itu sendiri.

Realitasnya sampai detik ini masih banyak masyarakat di pelosok negeri yang belum bisa utuh menikmati makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemiskinan terus meningkat, pengangguran merajalela, konflik kekerasan tak pernah nihil, krisis ekonomi, politik, dan sosial budaya terus mendera bangsa ini. Sampai kapan bangsa ini dapat mencapai tujuan kemerdekaan itu sendiri, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur? Bagaimana sesungguhnya kemerdekaan yang hakiki itu?

Makna Kemerdekaan

Kemerdekaan secara harfiah bermakna kebebasan atau lepas dari ikatan dan kungkungan. Dalam Bahasa Inggris, kemerdekaan identik dengan kata liberty, freedom atau right. Freedom adalah term mengenai kebebasan atau kemerdekaan. Liberty biasanya mengacu kepada kemerdekaan sosial dan politik. Right lazimnya identik dengan garansi-garansi kemerdekaan hak-hak legal spesifik. Ketiga kata tersebut seringkali dipakai mengacu kepada kemampuan orang untuk berbuat tanpa pembatasan-pembatasan (the ability to act without restrictions).

Dalam Wikipedia Indonesia, merdeka diartikan dengan pencapaian hak kendali penuh atas seluruh wilayah bagian negaranya atau saat di mana seseorang mendapatkan hak untuk mengendalikan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain dan atau tidak bergantung pada orang lain lagi. Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka dimaknai sebagai bebas dari penghambaan, penjajahan dan lain-lain, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Seluruh pemaknaan kata kemerdekaan mengacu secara penuh kepada kekebasan dan kekuatan untuk berdiri sendiri dan sama sekali tidak bergantung kepada siapapun dengan alasan dan dalih apapun. Disinilah kemandirian sebagai manifestasi kemerdekaan terhujam kuat melandasi setiap derap langkah bangsa ini.

Kemerdekaan Artifisial

Melihat realitas bangsa dan rakyat saat ini, sulit rasanya mengklaim bahwa kita sudah merdeka secara seutuhnya. Secara de yure bangsa kita memang sudah merdeka, yakni dalam konteks terbebas dari penjajahan. Namun secara de facto, yaitu kemerdekaan yang hakiki masih sangat jauh dari harapan. Kemiskinan merajalela, ketergantungan akan hutang luar negri masih tinggi, kebebasan berbeda pendapat masih tabu, kekerasan atas nama klaim kebenaran sepihak masih marak dan masih menyelimuti bangsa ini. Belum lagi berbagai bentuk penindasan, teror, intimidasi, insinuasi, agitasi, provokasi, pengerahan massa dan aksi-aksi yang sejenisnya yang beraroma kekerasan baik dengan cara halus maupun cara kasar adalah beberapa bentuk tindakan anarkis dan tiranik yang menelikung kemerdekaan.

Kemerdekaan yang kita miliki adalah sebatas kemerdekaan artifisial, namun jauh dari kemerdekaan factual. Menurut penulis, merdeka adalah bebas dan lepas dari segala macam bentuk penjajahan. Penjajahan tersebut bisa berupa penjajahan fisik, pemikiran, ekonomi, sampai politik. Jika ada pertanyaan, apakah Indonesia sudah merdeka? Maka dengan keyakinan tinggi penulis akan menjawab belum. Alasannya adalah karena ternyata Indonesia belum bisa terlepas dan terbebas dari segala bentuk penjajahan diatas.

Kemerdekaan VS krisis multi dimensi
Sejujurnya harus kita akui bahwa selama rentang waktu 64 tahun, ternyata kita belum mampu berbuat lebih banyak lagi untuk masyarakat. Bukannya kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran yang kita raih tapi krisis, kegagalan, dan keputus-asaan yang senantiasa melingkupi prestasi bangsa ini. Korupsi merajalela, konflik kekerasan jadi pilihan utama dalam mengatasi beragam persoalan, kemunafikan dan keangkuhan menjadi sifat buruk yang populer, dan sejumlah prestasi gagal lainnya.

Di bidang ekonomi misalnya kita masih terbelenggu oleh jeratan hutang luar negeri kita yang sangat tinggi. Kehadirannya bukan membawa solusi tapi membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Alih-alih memberikan solusi, yang ada justeru mempercepat waktu kematian bagi perekonomian Indonesia. Maka tepatlah pernyataan Tan Malaka bahwa ”Negara yang hidup meminjam pasti menjadi hamba peminjam” (Uraian mendadak, Yogyakarta, 7 november 1948). Kini, kita adalah hamba peminjam yang serba terkekang oleh kepentingan negara-negara donor. Tak ada lagi kekebasan yang kita miliki, yang ada hanya tunduk kepada kekuasaan. Jika Tan Malaka masih hidup maka beliau pasti sangat terpukul dan sedih karena kita benar-benar tidak berdaya. Kita bisa ingat ucapan lantangnya pada pidato di rapat pertama Persatuan Perjuangan ke-1, di Purwokerto tahun 1922 bahwa ” seharusnya kita tak akan berunding dengan maling di rumahnya”.

Sementara di bidang pertahanan dan keamanan, kedaulatan negara masih sering diinjak-injak oleh arogansi negara lain, sementara kita tak mampu berbuat apa-apa. Karena kita memang tak bisa apa-apa. Ketika pesawat dan kapal asing masuk wilayah teritorial kita, kita hanya bisa menggerutu kesal karena kita tak akan mampu mengejarnya.

Penjajahan jenis lain yang terjadi di Indonesia adalah penjajahan sosial politik. Bentuk penjajahannya dapat terlihat dari peran serta bangsa Indonesia dalam percaturan politik dunia. Indonesia sebagai negara berkembang masih dianggap sebagai anak tiri yang tidak terlalu signifikan keberadaannya di dunia. Wibawa bangsa ini seakan mulai pudar, sehingga tak mampu berdiri sama tegak, apalagi berdiplomasi atas nama kesetaraan. Belum lagi dibidang budaya, dimana banyak budaya hasil karya cipta kita yang diklaim atau dibajak negara lain.

Melihat kondisi diatas, refleksi diri mutlak dilakukan. Apakah kita menjadi bagian yang membuat Indonesia semakin terpuruk. Atau bahkan menjadi bagian yang merusak negeri ini. Sekaranglah tugas kita untuk bersama-sama memperbaiki kondisi Indonesia yang sudah kronis ini.

Uraian ini diungkap, sama sekali tidak bermaksud menafikan prestasi bagus yang telah diraih bangsa ini dalam berbagai hal dan bidang. Namun untuk memberikan early warning bagi seluruh stakeholder bangsa agar dapat meraih prestasi maksimal demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 1945.

Sudah saatnya kita mulai berfikir lebih jernih menyusun langkah-langkah strategis dalam rangka memperkuat jati diri bangsa yang jauh dari aspek penjajahan. Kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan bernegara haruslah menjadi pondasi dasar setiap detik langkah kita. Kemandirian adalah muara utama menuju kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya.

Kita harus ingat bagaimana dahulu para pejuang-pejuang mengangkat senjata demi sebuah kemerdekaan. Keperkasaan Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Diponegoro, Panglima sudirman, dan Tan Malaka melawan Penjajah patut diteladani. Mereka rela memberikan seluruh darma baktinya lahir dan batin demi menegakkan wibawa bangsa yang bermartabat. Mereka benar-benar memiliki integritas dan daya juang yang tak pernah padam.

Untuk bisa maju dan menatap masa depan yang lebih cerah, bangsa ini harus djauhkan dari orang-orang yang tak memiliki integritas nasional dan semangat juang ’45 karena perjuangan mengisi kemerdekaan dipastikan akan menemui jalan terjal. Kita butuh pejuang-pejuang muda yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi maupun kelompok semata, bukan orang-orang yang memiliki cap ”pengkhianat” bangsa dengan mengadai bahkan menjual kehormatan dan kewibawaan bangsa. Negara ini harus dijauhkan dari para pengkhianat utama seperti para koruptor yang senantiasa menari-nari bahagia diatas penderitaan masyarakat yang semakin parah.

Jalan panjang menuju kemerdekaan hakiki memang masih panjang. Apalagi tantangan masa depan siap menghadang setiap derap langkah kita. Mari bulatkan tekad, rapikan barisan, kuatkan persatuan, samakan persepsi perjuangan menatap indonesia yang lebih baik, adil, makmur, dan bermartabat. Tak ada kata lain selain ”bangkit dan bangkit” membangun negeri ini menuju indonesia yang terbebas dari segala bentuk penjajahan. Merdeka!!
Oleh: Sholehudin A. Aziz

Kedaulatan Negara Akan Terus Terancam 64 Tahun Merdeka, Masalah Perbatasan Belum Juga Tuntas

Ketidakseriusan pemerintah menangani masalah perbatasan lambat laun akan menggerus kedualatan wilayah negara. Konflik perbatasan sudah bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak medeka hingga usai negara mencapai 64 tahun, perseteruan dengan negara tentangga terus terjadi. Tidak pernah tuntas. Kalaupun tuntas, hasilnya menyakitakan. Garis tepi perbatasan Indonesai bergeser ke dalam dan kepuluan Indonesia berpindah kepemilikan asing.

Pengamatan intelijen Susaningtyas NH Kertapati menjelaskan, konflik politik pemerintahan terjadi karena sikap politik pemerintah Indonesia yang ambivalen dan penuh keraguan. Tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk mempertahankan perbatasandan pulau-pulau terluar Indonesia dengan kebijakan yang komprehensif.

”Jika yakin satu wilayah mau dipertahankan, sebaiknya pemerintah sungguh-sungguh memikirkan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Kalau tidak, bisa gawat. Mereka bisa saja membelot”, katanya kepada rakyat Merdeka, kemarin.

Wanita yang biasa disapa Nuning ini mengigatkan, ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola perbatasan akan sangat berpengaruh pada psikologis masyarakat di kawasan perbatasan,. Karena itu pemerintah hanya bisa mensejahterakan warga di daerah perbatasan dan pulau terluar itu.

”Dengan begitu merak merasa bahagia menjadi warga negara Indonesai (WNI). Harus ada welfare policy yang tepat bagi mereka”, ujarnya. Perbatasan, lanjutnya, tidak saja mengandung nilai strategis polids, pertahanan keamanan, sosial budaya, tetapi juga menilai ekomis yang serta strategis bagi gerak langkah roda perekonomian. ”terutaman bagi masayarakat yang hidup berdampingan dalam kawasan wilayah perbatasan suatu negara”.

Senada dengan Nuning, Ketua Umum Keluarga Besar Putra-Putri Polri (KBPPP) yang juga Direktur Jenderal Soedirman Center (JSC) Bugiakso mengatakan, masalah perbatasan merupakan simbol dari kedaulatan Indonesia secara teritorial. Karenanya, pemerintah diharapkan serius menangani masalah wilayah perbatasan dengan negara tetangga.

”Jika tidak mendapatakan perhatian serius masalah wilayah perbatasan, dikhawatirkan Indonesia akan mnegalami rongrongan dari negara tetangga yang berpotensi mengancam kedaulatannya”, katanya dalam acara Deklarasi dan pelantikan Dewan Pengurus Propinsi Ormas Benteng Kedaulatan (BK) Jawa Timur, di Kota Blitar, Selasa (17/2).

Bugiakso mengimbau agar pemerintah dan legilatif bisa memperhatikan keberadaan pulau-pulau terluar Indonesia. Kasus Sipadan dan Ligitan tidak perlu terulang lagi di masa mendatang. ”Perlu langkah yuridis dengan menerbitkan undang-undang yang menegaskan batas teritorial Indonesia dan keberadaan pulau-pulau terluar yang kita miliki”, cetusnya

Cucunya pahlawan nasioanl Jenderal Besar Soedirman itu mencontohkan kasus hilangnya sepuluh patok pembatas diperbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan Barat. Fakta itu, kata dia , bukti pemerintah masih belum serius menangani masalah perbatasan tersebut.” Pemerintah sebaiknya tidak main-main dalam menaggapi keberadaan pulau Miangas di Sulawesi Utara yang kedepan akan berpotensi menimbulkan sengketa dengan Filipina”. Tegasnya

Bukan Cuma Tanggung Jawab Dephan dan TNI

Sementara itu , pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI) Connie Rahakundini Bakrie menyoroti ketiadaan lembaga khusus yang mengurusi wilayay perbatasan dan pulau-pulau terluar saat ini, penanganan perbatasan sangat sektural dengan program kerja masing-masing. Bahkan, kata dia , masalah perbatasan seolah baginya menjadi tanggung jawab Departemen Pertahanan dan TNI. Padahal, kata Connie, satuan TNI yang berada di perbatasan merupakan satuan organik (Status di bawah kendali operasi Kodim/Korem/Kodam daerah perbatasan).

”Sedangkan peran dan tanggung jawab Pemda, Polri, Imigrasi Bea Cukai, kurang terlihat. Padahal pengamanan garis perbatasan menyangkut masalah geografis, demografi dan konsidi sosial masyarakat yang harus ditangani secara terpadu antara pemerintah daerah dengan pusat dan instansi terakati dan dibawah pengendalian satu komando”, ungkapnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Uniknya, kata dia meski peranan TNI sampat penting dalam menjaga perbatasan namun grand desigr Sishankamrata dan postur TNI ideal belum menjadi kebijakan. ” Seharusnya pemerintah terlebih dahulu membuat konsepsi tentang Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara, postur TNI, Polri dan Rakyat yang wajib terlibat dalam upaya Pertahanan Negara. Dari sinilah akan bisa dilihat penanganan daerah perbatasan dan pulau-pulau terlura”, cetusnya .

Dia menambahkan, problem lain di perbatasan dan pulau-pulau terluar adalah dukungan anggaran yang masih sangat kecil dan tidak memadai dibandingkan dengan beban tanggung jawab dalam rangka menjamin keutuhan dan kedaulatan NKRI. Selain itu, kualitas diplomasi luar negeri Indonesia juga masih lemah.

”Jadi sebenarnya kita tidak perlu kaget, kebakaran jenggot dan marah jika ada persoalan-persoalan sepuatar perbatasan dengan negara lain. Ini karena memang masalah perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia tidak pernah diurus dengan komprehensif dan integral tandas Connie.

Rakyat merdeka. Sabtu, 21 februari 2009/RN

Selasa, Juli 28, 2009

Hendropriyono: Pancasila Harus Jadi Tameng Terorisme

Tidak Perlu Jenius Untuk jadi Teroris JOGJA- Setelah menjalankan program doktornya selama 3 tahun, Mantan Kepala Badan Inteligen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono resmi menggenggam gelar Doktor kemarin (25/7). Dengan predikat cumlaude, Hendro menjadi doktor ke 1.089 yang dihasilkan UGM dan Doktor ke-51 dari Fakultas Filsafat. Keputusan cumlaude diberikan setelah Hendro mempertahankan disertasinya di hadapan promotor Prof. Dr. Kaelan dan Ko-promotor Prof. Dr Lasiyo, dan Prof. Dr. Djoko Suryo. Tium penguji terdiri dari Prof. Dr. Syafi'i Maarif, Dr. Muntasar Prof. Dr. Koento Wibisono, Prof. Dr. Syamsulhadi dan Prof R Soejadi SH.


Setelah sempat "menghilang" selama beberapa saat, terorisme kembali jadi bahan perbincangan setelah peledakan dua hotel Ritz Charlton dan JW Marriot. Hendro mengakui terorisme adalah salah hal yang paling menggelisahkan dan berpengaruh pada ketahanan nasional Indonesia. Menemukan solusi untuk terorisme juga tidak mudah. Saat ini, terorisme di Indonesia menggurita, terus tumbuh namun tidak bisa dilacak sumbernya. "Yang berada di sini (Indonesia) hanya kaki tangan sementara dalang utamanya tidak berada di sini. Ini yang membuat permasalahan terorisme sendiri menjadi kompleks," tuturnya saat memberikan pidato penganugerahan gelar doktor di Gedung Pascasarjana UGM.


Selama lebih dari tiga tahun mempelajari terorisme dari segi keilmuan, Hendro tetap berpendapat terorisme tidak punya definisi yang pasti. "Tanpa definisi jelas, sulit mencari solusi yang tepat untuk memeranginya," ujarnya. Disertasi Hendro berjudul Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional. Disertasi setebal 400 halaman itu, antara lain, mengungkapkan terorisme sebagai fenomena sosial yang sulit dimengerti, bahkan oleh sang teroris sendiri. ''Saya melakukan kajian dari filsafat bahasa. Pemikiran tentang aksi seorang teroris saya simpulkan dari perkataannya," jelas jendral purnawirawan kelahiran Jogja ini.

Terorisme menjadi sulit dimengerti karena efeknya bisa luar bisa besar meski dijalankan oleh orang yang tidak memiliki latar belakang keilmuan tinggi. Pendek kata, aksi terorisme bisa dilakukan siapapun tanpa merujuk pada kehidupan akademis. "Tanpa pendidikan yang memadai sekalipun, seseorang bisa melakukan aksi terorisme yang menggetarkan dunia dan berimplikasi sangat luas," tegasnya. Tidak hanya itu, teknik, taktik, dan strategi terorisme terus berkembang sangat cepat dari waktu ke waktu. "Taktik dan teknik teroris terus berkembang seiring kemajuan sains, sedangkan strateginya berkembang seiring dengan keyakinan ontologis atas ideologi atau filsafat," terang mantan menteri tenaga kerja RI ini.


Teroris, lanjut Hendro, juga biasa menggunakan agama sebagai alat justifikasi (pembenaran) terhadap segala aksinya yang cenderung destruktif. "Manipulasi kebenaran seringkali menggunakan kaidah agama sebagai sumbernya," ungkapnya. Berkaitan dengan ketahanan nasional, Hendro berkata bangsa Indonesia sebenarnya sudah punya tameng untuk mencegah terorisme yaitu pancasila. "Pancasila bisa menjadi alat untuk melawan dan mempertahankan diri dari segala ancaman atau hambatan," terangnya. Kajian terhadap terorisme dan ketahanan nasional, diharapkan Hendro, bisa menjadi upaya revitalisasi filsafat pancasila.

"Pancasila adalah filosofi bangsa yang mencangkup tataran nilai dasar, nilai instrumen dan nilai praktis, jadi sebenarnya cukup akomodatif untuk menghadapi berbagai permasalahan masyarakat," jelasnya. Prof Kaelan yang bertindak sebagai promotor menyebut Hendro sebagai mahasiswa S3 yang haus ilmu. "Diharapkan dengan gelar doktor ini dia bisa menyumbangkan tenaga dan pikiran terutama kemampuan analisis intelijen bagi negara," katanya.

Beberapa kolega dan undangan yang hadir adalah mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Gubernur Gorontalo Fadel muhammad, Ketua DPD RI Ginandjar Kasasasmita, Ekonom Prof. Dr. Sri Edi swasono, Politikus Permadi, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, mantan Ketua DPR RI Ir. Akbar Tanjung, dan Mantan Ketua Mantiqi lll Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abbas. (luf)


Sumber : Tribun Jogya

Sabtu, Juli 18, 2009

Politik di Balik Terorisme

Rentetan peristiwa bom di tanah air yang selama ini terjadi membuktikan bahwa aparat Indonesia tidak berdaya menangani teror bom di dalam negeri. Namun beberapa waktu lalu Indonesia menjadi pusat perhatian dunia dengan pemberitaan tewasnya Dr Azahari selaku teroris yang paling dicari selain Nordin M Top karena diduga sebagai otak dari berbagai kegiatan terorisme (pengeboman) yang selama ini terjadi di Indonesia. Indonesiapun (termasuk aparat yang terlibat) akhirnya mendapatkan banyak pujian dari berbgai kalangan dan juga luar negeri karena keberhasilannya membekuk salah satu otak kegiatan teroris di Indonesia. Namun pada akhirnya kejadian tadi mengundang sejumlah pertanyaan dari para pengamat intelijen di Indonesia terkait dengan kematian Dr Azahari yang terkesan tidak meyakinkan.

Pro dan kontra seputar kematian Dr Azahari pun merebak dan banyak menghiasi media massa kala itu.Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya kita perlu tahu apa yang disebut dengan terorisme. Menurut sebuah definisi, “Terrorism is a premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.” (Terorisme adalah tindak kekerasan yang terencana rapi dan bermotivaskan politis, ditujukan kepada target sipil dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional atau agen-agen klandestin dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Terorisme sendiri (dari bahasa latin terer, kengerian) adalah tindakan destruktif yang misterius. Terorisme adalah misteri karena kemunculannya yang mendadak dan menggetarkan.

Dalam definisi lain dikatakan tujuan tindak teror adalah menciptakan state of terror (suasana teror/ketakutan) dan juga rasa cemas dan chaos yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Ia mewakili kepentingan pihak small group yang tak mudah dilacak. Small group bisa berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan, misalnya ideologi, sosial-politik, agama, atau bahkan kepentingan pribadi sekalipun. Berdasarkan definisi di atas, setidaknya terdapat empat unsur pokok dalam kegiatan terorisme yaitu:
  1. Tindak kekerasan yang terencana dengan rapi dan bukan bersifat spontan.
  2. Perbuatan yang berlatar belakang politis bukan kriminal tapi dalam pelaksanaannya kerap melakukan tindakan kriminal untuk mencapai tujuan. Politis dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik yang ada.
  3. Sasaran terorisme kebanyakan adalah masyarakat sipil, bukan instalasi militer ataupun pasukan bersenjata karena tindak terorisme memilih sasaran yang dapat menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
  4. Dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan di dalam negeri (atau di luar negeri) yang merasa tidak puas atau bahkan marah terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara.
Hal itulah yang menyebabkan tindak terorisme sangat sulit dicegah. Jika kita amati setidaknya ada tiga penyebab yaitu mudah dilakukan dengan peralatan dan metode yang sederhana, merupakan pilihan utama bagi pihak yang inferior dalam perimbangan kekuatan, dan mempunyai daya tarik bagi individu dengan kondisi kejiwaan tertentu. Terorisme bisa berkembang setidaknya oleh tiga hal yaitu ada motivasi yang kuat, ada ruang gerak yang relatif luas, dan daya tangkal nasional yang kurang memadai (lemah).

Terlepas dari itu semua, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di negara ini, atau bahkan di dunia ini takkan pernah lepas dari yang namanya politik. Dari berbagai peristiwa terorime di dunia, terbukti bahwa kegiatan terorisme sangat erat hubungannya dengan politik. Politik merupakan wilayah konsep dan praksis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik bisa berupa sesuatu yang abstrak, namun dalam koridor tertentu masih dapat diukur dengan kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praksis, politik tidak hanya terjadi dalam wilayah yang kecil seperti desa, akan tetapi dapat juga terjadi di wilayah yang besar seperti dalam suatu negara atau bahkan antar negara sekalipun.

Menurut Harold D Lasswell, politik adalah perkara “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Ketika ditelusuri lebih jauh maka esensi dari definisi politik di atas adalah konflik, karena politik adalah perihal mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan sehingga rentan sekali terjadi konflik. Sementara itu, kekuasaan sendiri mempunyai pengertian sebagai konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Dalam banyak kasus yang terjadi selama ini, politik sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, sehingga tidaklah mengherankan jika politik sering bermakna “kotor” dan identik dengan “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem yang demokratis, seharusnya politik mempunyai makna dan dipraktikkan secara positif dan rasional, karena dalam sistem ini politik adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Tapi ternyata tidak demikian halnya yang terjadi di lapangan. Sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa politik dan terorisme mempunyai hubungan yang erat sekali.

Ketika kita meyakini bahwa setiap tindak terorisme pasti berbau politis, maka hal ini akan mempengaruhi bagaimana cara kita menganalisa tindak terorisme yang terjadi selama ini, yang pasti berkaitan dengan kejadian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Kita juga harus memahami bahwa kegiatan terorisme adalah merupakan bagian dan bentuk dari kegiatan intelijen yang dilandasi perjuangan paham ideologi yang sangat berbeda dari kegiatan kriminal dan jenis gangguan keamanan lain yang bisa ditanggulangi oleh pihak kepolisian. Hal ini menyebabkan sebuah konsekuensi bahwa yang harus berada di barisan terdepan dalam mencegah tindakan terorisme sesungguhnya adalah aparat intelijen, karena merekalah yang diberikan kemampuan dan keterampilan untuk melakukan operasi clandestine dan kegiatan-kegiatan lain yang pada dasarnya tidak mungkin dilakukan oleh aparat kepolisian karena keterbatasan kemampuan dan wewenang yang mereka miliki. Meskipun sejak era orde baru dalam struktur organisasi di lembaga kepolisian Indonesia dibentuk fungsi intelijen, namun pengetahuan intelijen mereka adalah intelijen kriminal, bukan tentang pertahanan dan keamanan negara.

Cara kerja polisi untuk menghimpun informasi pun berbeda dengan cara kerja orang-orang intelijen, sebab jenis informasi yang dihimpun oleh kedua instansi sudah berbeda. Yang satu (intelijen) untuk kepentingan early warning, dan yang satunya lagi (polisi) untuk pemberkasan di pengadilan. Polisi bekerja dengan titik-tolak TKP (Tempat Kejadian Peristiwa). Secara garis besar polisi hanya bergerak setelah bom meletus. Selama bom belum meletus, polisi tidak bisa bergerak, apalagi menangkap orang. Di lain pihak, intelijen bekerja dengan asumsi-asumsi yang dibangun menurut hasil monitoring terus-menerus terhadap gerak-gerik orang atau kelompok yang dicurigai hendak melakukan tindak kejahatan. Intelijen berpedoman pada prinsip pre-emptive strike (sikat/ hancurkan dulu sebelum sasaran beraksi).

Partisipasi dari segenap masyarakat (Indonesia), optimalisasi kerjasama antar instansi yang berwenang dan terkait baik di tingkat regional, nasional maupun internasional, serta pemberdayaan peranan PBB sebagaimana mestinya sangat dibutuhkan untuk meng-counter tindak terorisme. Jangan sampai kita tertipu oleh propaganda yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terkesan menganggap orang/ kelompok/ negara lain sebagai teroris, tetapi justru pihak tersebutlah teroris yang sebenarnya. Tentu kita akan mengetahui hal tersebut ketika kita menggunakan akal kita untuk berfikir, bukan dengan nafsu kita.


Kamis, Juli 16, 2009

RUU Rahasia Negara Jangan Dilanjutkan

Rancangan Undang-undang (RUU) Rahasia Negara yang akan dibahas DPR dinilai mengancam kebebasan warga dalam mengakses informasi publik. Pembahasan RUU tersebut diminta tidak dilanjutkan. Hal tersebut terungkap dalam diskusi publik bertema 'Jalan Panjang Pembahasan RUU Rahasia Negara:Haruskah Dilanjutkan?', yang digelarAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Friedrich Ebert Stiftung (FES), di Hotel Kenari Tower, Makassar (11/7/2009). RUU Rahasia Negara tersebut menggarisbawahi rencana pemerintahmelindungi kedaulatan negeri ini dari kerahasiaan informasi, benda atau aktifitas yang ditetapkan oleh presiden. Mufti Makaarim dari Institute for Defense Security & Peace Studies (IDSPS), menilai RUU Rahasia Negara mengebiri kebebasan warga mengakses informasi publik.

RUU ini juga dinilai mengancam kewenangan lembaga ketatanegaraan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika menyelidiki kasus korupsi pada Departemen Pertahanan."Ambil contoh ketika publik meminta transparansi pembelanjaan alutsista,pihak Dephan RI gampang saja bilang ini rahasia negara. Padahal alutsista tersebut dibeli dengan uang rakyat," kata Mufti.

Mufti juga mengkhawatirkan jika RUU Rahasia Negara disahkan oleh DPRRI, akan mematikan fungsi kampus sebagai lembaga penelitian, lembagaswadaya masyarakat (LSM) dan jurnalis sebagai lembaga kontrol penguasa, karena kran-kran informasi publik ditutup atas dasar UU Rahasia Negara.

Mufti menambahkan, beberapa keanehan RUU Rahasia Negara terlihatketika RUU ini muncul di akhir masa jabatan anggota DPR RI periode2004-2009. "UU semacam ini perlu kajian strategis dan diskusi panjang, bukan model kejar tayang, ada apa di balik RUU ini?," kata Mufti.

Abdul Manan Abdul Manan dari AJI Indonesia mengatakan, jika RUU Rahasia Negara disahkan maka akan semakin banyak Undang-undang (UU) yang akan memenjarakan jurnalis.Karena RUU Rahasia Negara tersebut, lanjut Manan, membatasi kerjajurnalis dalam membeberkan fakta dan informasi bagi publik. UU yangdimaksud oleh Manan adalah KUHP, UU Hak Cipta, UU Kebebasan Informasi Publik, UU Penyiaran dan UU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)."UU Rahasia Negara ini hukumannya spektakuler, jurnalis bisa dipenjara5-20 tahun karena dianggap membocorkan rahasia negara," ungkap Manan.

Sementara ditinjau dari sisi hukum perundang-undangan, Adnan B. Azizdari LBH Makassar, menganggap RUU Rahasia Negara tidak perlu disahkan,karena sudah ada UU Kebebasan Informasi Publik yang mulai efektif padatahun 2010, yang sudah membatasi kebebasan publik dalam mengaksesinformasi."RUU Rahasia Negara ini juga sebenarnya menjiplak UU Penanggulangan Terorisme Nomor 15 tentang pengungkapan alat bukti yang tidak transparan dan harus ditentukan oleh Dewan Rahasia Negara," kata Adnan.
Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews

RUU KEPEMUDAAN : REPOSISI PEMUDA SEBAGAI SOCIAL CATEGORY

Di tengah arus mondial yang tergambarkan dalam wujud globalisasi sekarang ini, kemandirian bangsa bukan hanya merupakan sesuatu yang penting, tetapi sekaligus merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia. Ada cukup banyak perspektif yang dapat diajukan tentang kemandirian bangsa Indonesia, termasuk oleh pemuda.

Mendiang Presiden Soekarno misalnya memaknai kemandirian bangsa dalam apa yang disebutnya sebagai “Tri Sakti” yakni berkedaulatan di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Begitu pun dengan pemimpin Indonesia lainnya termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak awal kepemimpinannya terus memacu semangat kemandirian bangsa, agar kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia, yang dari aspek peradaban dan ilmu pengetahuan sudah lebih dulu maju.

Kemandirian bangsa tentu saja menjadi atensi dari semua elemen bangsa khususnya pemuda sebagai pengemban masa depan bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda memiliki peranan sejarah yang penting dan berkelanjutan dalam perjalanan kehidupan berbangsa. Mengingat peranan dan posisinya yang strategis dalam konfigurasi kehidupan kebangsaan, sudah sepatutnya pemuda mesti dipandang sebagai aset sosial bangsa yang strategis.

Secara kuantitatif, jumlah pemuda Indonesia hampir mencapai 40 persen dari total 200-an juta penduduk Indonesia atau sekitar 80 juta jiwa. Sedangkan secara kualitatif, pemuda pun memiliki talenta dan kapasitas yang cukup memadai untuk menjalankan tugas-tugas kepeloporan dalam pembangunan nasional, demi menuju pencapaian kemandirian bangsa.Berkaitan dengan kebijakan pembangunan kepemudaan, pemerintahan sekarang ini memiliki visi yang reformis sekaligus progresif dalam menyusun regulasi kepemudaan.

Sejak ditunjuk Presiden SBY untuk memimpin Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Menpora Adhyaksa Dault berupaya optimal menyusun regulasi pembangunan kepemudaan yang lebih berpengharapan bagi masa depan pemuda. Sejak awal Menpora Adhyaksa Dault mengintrodusir pergeseran paradigmatik dengan memosisikan pemuda sebagai social category, dan bukan lagi sebagai political category seperti realitas kekuasaan di masa lalu.

Pergeseran paradigma ini merupakan antitesa atas realitas kekuasaan masa lalu yang cenderung memposisikan pemuda hanya sebagai komoditas politik belaka. Adapun paradigma pemuda sebagai social category dapat dimaknai dari tiga perspektif yakni; Pertama, perspektif filosofis; bahwa pemuda sebagaimana kodrat manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang memiliki peran eksistensial dengan beragam dimensi antara lain dimensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Artinya, secara kodrati pemuda mesti menjalankan peran eksistensialnya sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial.Kedua, perspektif historis; pasca gerakan reformasi 1998, telah terjadi pergeseran paradigma di hampir setiap lini publik.

Di masa lalu, pemuda cenderung diposisikan sebagai komoditas politik sehingga mengakibatkan bargaining position pemuda sebagi aset sosial menjadi amat lemah. Halmana mengakibatkan kurang terapresiasinya pemuda yang berada di luar area kelompok elitis. Pergeseran paradigma pemuda dari political category ke social category dimaksudkan untuk memposisikan pemuda sungguh-sungguh sebagai aset sosial bangsa yang strategis. Ketiga, perspektif kompetensi; bahwa pemuda merupakan segmen warga negara yang memiliki aneka kompetensi yang dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan negara.

Paradigma pemuda sebagai social category sesungguhnya hendak menegaskan bahwa apresiasi terhadap pemuda melingkupi seluruh lapis profesi pemuda termasuk yang memilih politik sebagai domain praksis profesionalnya. Artinya, hak-hak politik pemuda merupakan bagian yang tidak terpisahkan (inherent) dari eksistensi pemuda sebagai social catagory.

Dari perspektif pemuda sebagai social category, kita tentu saja sangat menyadari bahwa pemuda mesti terus mengalami pemberdayaan (empowering), baik dengan ditopang oleh regulasi negara/pemerintah, maupun oleh kemampuan untuk mandiri. Spirit kepeloporan dan kejuangan dengan sendirinya mesti terus-menerus dipacu untuk dapat bertumbuh dan menjadi tradisi hidup pemuda.Dalam konteks regulasi, penyelesaian problematika kepemudaan tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan penanganan yang bersifat komprehensif dan terkoordinasikan secara interdepartemental (interdep), dengan pendekatan penyelesaian yakni “menuntaskan akar masalah”, dan bukan hanya sekedar “menyentuh ekses atau dampak masalah”.

Merespons posisi strategis pemuda dan menghadapi realitas problematika kepemudaan di tanah air, maka Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bersama mitra legislatifnya (Komisi X DPR RI) sedang mempersiapkan Rancangan Undang Undang (RUU) Kepemudaan. Bila kelak RUU ini dapat disahkan menjadi Undang Undang, maka para pemuda Indonesia boleh lebih berlega hati dan optimistik, mengingat negara telah menyiapkan payung hukum permanen bagi pembangunan kepemudaan.Substansi materinya diarahkan pada tiga aspek utama sebagai yakni aspek perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan kepemudaan.

Dengan demikian, pemuda diharapkan dapat lebih bersikap proaktif sebagai subjek pembangunan, selain untuk memajukan diri dan komunitas kepemudaan, juga mampu mengakselerasi kemajuan pembangunan nasional menuju kemandirian bangsa. Materi UU Kepemudaan justru hendak memosisikan pemuda sebagai potensi bangsa yang mesti mendapat porsi perhatian negara secara memadai, dengan tetap menghormati independensi pemuda sebagai kekuatan intelektual. Reformasi memang mengandaikan bahwa negara mesti mengambil posisi sebagai pihak yang memotivasi, memediasi, dan memfasilitasi eksistensi dan kemajuan pemuda, tanpa pendekatan mobilisasi seperti di masa-masa yang lalu.


Pemerintah tentu saja berharap bahwa sebagai bagian dari pemangku kepentingan (stakeholders) kepemudaan, yakni para mahasiswa, bersama kekuatan intelektual mahasiswa lainnya di kampus-kampus se-Indonesia dapat mengambil prakarsa untuk mengelaborasi dan mengkontribusikan gagasan-gagasan visionernya demi penguatan kualitas materi RUU Kepemudaan. Dengan begitu, nuansa akademik dari materi RUU Kepemudaan juga lebih dapat terwarnakan dalam RUU Kepemudaan.


Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga memiliki optimisme bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, insya Allah, pada tahun 2009 ini RUU Kepemudaan dapat segera diundangkan untuk memayungi eksistensi pembangunan kepemudaan secara nasional. Mitra legislatif di DPR RI beserta segenap stakeholders pemuda sejauh ini menunjukkan kadar responsibilitas yang tinggi terhadap rencana Pemerintah untuk melahirkan UU Kepemudaan.Artinya, apabila nanti lahir UU Kepemudaan maka hal itu akan melengkapi pembangunan dua pilar strategis di negeri ini yakni pemuda dan olahraga. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan eksistensi UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Hendaknya dipahami bahwa pemuda dan olahraga merupakan dua pilar bangsa yang sama-sama penting untuk menguatkan nation and character building sekaligus untuk menggelorakan spirit of the nation.Kendati dililit oleh permasalahan yang kompleks, kita tentu saja yakin bahwa para pemuda Indonesia memiliki ketulusan membangun idealisme demi kemajuan dan kemandirian bangsanya.


Kita percaya bahwa dengan generasinya yang datang silih berganti, para pemuda pun terlatih untuk tangguh berdialektika demi menjadi pemimpin bangsa di masa depan.Demikianlah, pemuda memang tidak boleh merasa lelah untuk dapat meneruskan cita-cita para pendiri bangsa (the founding fathers) yang selaras dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945. Mahasiswa, sebagai bagian inherent dari pemuda, diharapkan dapat merevitalisasi spirit kebangsaan untuk melahirkan kemandirian bangsa. Halmana agar bangsa Indonesia tidak lagi terpuruk di kancah kompetisi global. [AU]


Sumber : www.formula.indonesiafile.com/Tulisan by Tamzirien

Selasa, Juli 14, 2009

Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat


Dari pandangan ekonomi makro, kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan jika tingkat inflasi tinggi. Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat mengalami penurunan karena kenaikan harga-harga. Komponen inflasi terbesar terbesar adalah bahan pangan. Keniakan bahan pangan sangat memukul bagi masyarakat berpendapatan rendah. Inflasi yang tinggi juga berkaitan langsung dengan tingkat kemiskinan. Karena sejumlah besar penduduk berada pada batas garis kemiskinan maka peningkatan inflasi semakin menurun kemampuan masyarakat mencukupi kebutuhan pangan, menyebabkan semakin banyak penduduk yang ajtuh di bawah garis kemiskinan.

Pada masa krisis 1998, inflasi mencapai sekitar 70% yang sangat memberatkan masyarakat kebanyakan. Tingkat kemiskinan juga meningkat tajam mencapai sekitar 28%. Dengan menurunya inflasi, tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan. Sejak masa krisis baru pada tahun 2005 inflasi mencapai tingkat yang lebih tinggi 17,11% terutama dipicu oleh kenaikan harga-harga sebagai akibat kenaikan harga BBM. Perkembangan ini tentu saja sangat memberatkan kehidupan masyarakat. Apalagi tingkat pengangguran tergolong tinggi 10,8%, sampai dengan bulan Januari 2006 inflasi masih tinggi karena kenaikan harga beras.

Tingginya inflasi dan tingkat pengangguran menunjukan tingginya tingkat kesengsaraan rakyat. Indeks Kesengsaraan Rakyat (Misery Index) yang diperkenalkan oleh Michael Okun, penasehat ekonomi Presiden Kennedy, mengukur tingkat kesengsaraan dengan menambahkan tingkat inflasi kepada tingkat pengangguran, dengan kesengsaraan menjadi 27,81%, suatu tingkatan yang tinggi.

BI memperkirakan bahwa tingkat inflasi pada akhir tahun akan menurun menjadi 8%. Perkiraan ini sejalan dengan perkiraan para pelaku ekonomi di sektor keuangan. Namun tidak demikian halnya untuk pelaku ekonomi di sector rill dan rumah tangga, khususnya yang berpendapatan rendah. Pelaku ekonomi di sector keuangan melihat inflasi ke depan (ekspektasi rasional), sedangkan pelaku ekonomi di sector riil dan rumah tangga melihat inflasi kebelakang (adaptif) melakukan penyesuaian dengan perubahan harga-harga.

Sektor keuangan sebagaimana BI memperhatikan inflasi inti (core inflation), dengan mengesampingkan perubahan harga bahan pangan dan energi, yang tingkatannya jauh lebih rendah dari inflasi berdasarkan indeks harga konsumen, yaitu 9,36%. Karena itu kita melihat terjadinya penguatan nilai rupiah, dan peningkatan yang cukup besar indeks pasar modal. Lembaga peringkat internasional juga menaikan outlook menjadi positif yang kemungkinan diikuti oleh Moody’s, sekalipun Fitch menurunkan outlook menjadi stabil. Pertanyaannya adalah seberapa lama modal jangka pendek sekitar $ 6-8 miliar akan bertahan. Ini sangat bergantung pada apakah ekspektasi inflasi sebesar 8% akan tercapai atau tidak.

Sedangkan sektor riil secara bertahap menyesuaikan harga jual produknya karena kenaikan harga energi, transportasi, upah dan kredit. Mereka tidakl sekaligus melakukan penyesuaian harga karena mempertimbangkan daya beli masyarakat. Produsen berbagai produk menyesuaikan harga dengan meniakan sekitar 10% tahun 2005, dan tahun 2006 kemungkinan juga akan meniakan harga lagi sekitar 10%, kenaikan harga ini belum mempertimbangkan kemungkinan kenaikan TDL.

Jika pelaku ekonomi di sektor keuangan memperkirakan inflasi pada akhir tahun 2006 sekitar 7-8%, maka pelaku ekonomi di sektor rill pada umumnya memperkirakan inflasi sekitar 10-12%. Kesenjangan dalam memperkirakan tingkat inflasi ini juga memperlihatkan kesenjangan yang semakin melebar antara sektor riil dan keuangan. Perbankan sebagai bagian terbesar dari sektor keuangan fokus alokasi kreditnya semakin mengarah pada kegiatan konsumsi yang sasarannya adalah end user dan semakin selektif dalam memberikan kredit kepada perusahaan.

Kecenderungan pertumbuhan ekonomi juga mengalami pelemahan. Pada Triwulan I/2005 pertumbuhan ekonomi tergolong tinggi 6,1%, kemudian per triwulan berikutnya mengalami penurunan berturut-turut menjadi 5,9% kemudian 5,3% dan kemungkinan dalam triwulan IV/2005 pertumbuhan di bawah 5%. Menurunnya pertumbuhan ini memperburuk tingkat pengangguran. Kecenderungannya pengangguran terus meningkat ke 11%, apalagi dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5% pada tahun 2006.

Bagi sektor rill dan rumah tangga, berbeda dengan sektor keuangan, kenaikan harga pangan dan energi merupakan komponen besar dalam pengeluaran mereka. Bagi rumah tangga deng inflasi akhir tahun sebesar 8% sekalipun, ditambah dengan tingkat pengangguran kemungkinannya sekitar 11%, maka tingkat kesengsaraan mereka masih tinggi yaitu 17%. Apalagi jika upaya pengendalian inflasi ini tidak mencapai sasaran.

Jika inflasi dapat menurun menjadi single digit sekalipun, kondisi masyarakat berpendapatan rendah sangat berat karena daya beli mereka yang mengalami penurunan, dan bagi yang menganggur sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Bagi masyarakat berpendapatan tinggi keadaanya kemungkinan lebih baik, karena dengan asset financial mereka memperoleh keuntungan dari meningkatnya suku bunga deposito dan perkembangan pasar modal, serta kegiatan di sektor keuangan lainnya. Karena itu kesenjangan antara kaya dan miskin semakin mengkhawatirkan.

Menghadapi situasi seperti ini, pemerintah memang telah membuat kebijakan untuk mengatasinya. Untuk mengendalikan inflasi, pemerintah antara lain melakukan impor beras. Namun kebijakan ini mendapatkan tantangan tidak saja dari petani dan pemerintah daerah, tapi juga dari Menteri Pertanian sendiri dan partai politik, terutama PKS dan PDIP. Berlanjutnya kontroversi impor beras ini tentu saja mempersulit upaya pemerintah untuk mengendalikan inflasi.

Pemerintah juga telah melakukan cash transfer kepada golongan miskin dengan dana sebesar Rp. 100 ribu per bulan. Pada awalnya program ini banyak mengalami kritikan dan salah sasaran, namun dengan beberapa perbaikan efektifitas program dapat ditingkatkan. Tetapi jangkauannya sangat terbatas dan begitu pula efektifitasnya untuk membantu golongan miskin tidak optimal.

Proyek-proyek padat karya seperti infrastruktur pedesaan telah direncanakan dan dianggarkan, namun pencairan dananya mengalami keterlambatan karena prosedur pencairan yang semakin rumit dan keengganan birokrat di pusat dan daerah untuk melaksanakan proyek karena gencarnya investigasi terhadap tindak korupsi. Apakakah program dan proyek pemerintah akan lebih efektif pada tahun 2006 masih harus dibuktikan karena permasalahan yang sama masih harus dipecahkan.

Bagi pemerintahan SBY-JK tantangan besarnya adalah bagaimana mendorong pemulihan dan perkembangan ekonomi yang dapat berlangsung memperbaiki kesejahteraan rakyat. Mengembalikan stabilitas makro saja tidak memadai dalam lingkungan politik yang demokratis ini. Kita ingat pada masa pemerintahan Megawati dimana stabilitas makro baik, sebagaimana diperlihatkan oleh rendahnya inflasi dan suku bunga, namun rendahnya pertumbuhan dan meningkatnya pengangguran menimbulkan kekecewaan yang meluas, yang akhirnya ,memberikan sumbangan besar terhadap kekalahan PDIP dan Megawati.

Harapan terhadap perbaikan kesejahteraan demikian tinggi terhdapa pemerintahan SBY-JK. Stabilitas ekonomi kemungkinan akan membaik, namun dengan pertumbuhan rendah pengangguran cenderung meningkat dan kesejahteraan masyarakat menurun. Apalagi jika program dan proyek pemerintahan yang bersifat langsung memperbaiki kesejahteraan masyarakat tidak berjalan dengan efektif. Kekecewaan masyarakat akan meluas, sekalipun kecil kemungkinannya untuk bermuara pada kerusuhan sosial.

Karena itu tidak ada jalan lain kecuali memperbaiki mekanisme pencairan anggaran di pusat dan daerah dan mengefektifkan proyek-proyek pembangunan yang dapat menciptakan kesempatan kerja terutama bagi golongan bawah. Kebijaksanaan yang memfasilitasi peningkatan investasi riil, perpajakan, kepastian kontrak dan ketenagakerjaan harus secara berarti mengalami perbaikan untuk tidak saja mencegah penurunan kembali pertumbuhan investasi tetapi bahkan untuk meningkatkannya.

Sumber : Umar Juoro/Cides

Senin, Juli 13, 2009

Pendidikan ‘Life Skills’ Solusi Efektif Atasi Pengangguran

Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen per tahun bukan saja merupakan lampu kuning bagi pemerintah, lantaran laju penduduk terus membengkak, tapi juga memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup aspek sosial, psikologis, dan bahkan politik. Apabila jumlah pengangguran dan setengah pengangguran cenderung meningkat, akan berpengaruh besar terhadap kondisi negara secara keseluruhan, antara lain meningkatnya jumlah penduduk miskin.

Jika pada tahun 2005 lalu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik angkatan kerja menganggur 10,26 persen, namun pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. “Angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta,” kata Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) M Tri Sambodo.

Menurut Tri Sambodo, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. “Ini artinya, ujarnya, semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan.

Dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai skenario optimum yaitu 6,5 persen dengan tingkat serapan tenaga kerja hanya 218.518 orang untuk setiap pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka lapangan kerja tersedia hanya 1,4 juta orang. “Mereka yang tak terserap terpaksa menganggur dan menambah angka pengangguran,” kata Tri Sambodo. Memang, tambah dia, berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka pengangguran itu, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.

Lantas apa upaya warga bangsa ini, karena kian hari pertambahan jumlah angkatan kerja semakin bertambah dan pengangguaran pun terus menumpuk? Nampaknya kurang efektifnya pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan kesempatan kerja baru mengindikasikan perencanaan perekonomian yang dilakukan sepertinya masih di atas kertas.

Salah satu upaya mengatasi pengangguran dengan mengarahkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya sebagai instrumen menciptakan kesempatan kerja baru, tapi juga melakukan restrukturisasi angkatan kerja. Pemikiran ini dilandasi asumsi bahwa dari segi kuantitas, sebenarnya jumlah kesempatan kerja yang ada saat ini sudah mencukupi. Artinya, ia bisa menampung hampir semua angkatan kerja. Namun, itu tidak terwujud karena kesempatan kerja yang sebenarnya mencukupi itu ternyata terdistribusi secara tidak merata, tidak sesuai dengan peruntukannya, dan karena proses shifting.

Problem akan minimnya pengetahuan kebutuhan dunia kerja menyebabkan penyerapan lulusan pendidikan formal dan nonformal masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah menjalin kerja sama dengan dunia usaha untuk menyinkronkan program pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.

"Sinkronisasi program pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja sangat mendesak. Upaya mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kerja harus dimulai sejak awal, sehingga pendidikan mampu menghasilkan tenaga siap kerja," kata Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harry Heriawan Saleh.

Terkait dengan hal tersebut, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) tentang Keterpaduan Program Siap Kerja dan Pemahaman Hubungan Industrial bagi Siswa SMK atau Sederajat, Mahasiswa, dan Peserta Didik pada Satuan pendidikan Nonformal, masing-masing oleh Sekjen Depnakertrans, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Prof Suyanto, Phd serta Kadin Indonesia Anton Riyanto.

Kesepakatan tersebut mencakup tiga hal. Pertama, pemahaman dinamika hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha; kebutuhan pasar kerja; dan pengenalan peraturan- peraturan ketenagakerjaan. Menurut Suyanto, MOU ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi lulusan program pendidikan formal dan nonformal. Apalagi pemerintah telah mencanangkan program three in one, yaitu pelatihan bersama, sertifikasi, dan penempatan. "Tujuannya, untuk memudahkan lulusan SMA dan SMK diterima di pasar kerja. Pada tahun 2007, kami memperkirakan ada 850.000 siswa SMK dan SMA yang lulus," ujar Suyanto.

Pada hematnya keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk menghadapi kehidupan atau memberikan life skills pada peserta didik. Logikanya, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi pula peran yang dapat dimainkannya dalam kehidupan di masyarakat.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Depdiknas harus lebih menyempurnakan kurikulum agar dapat memberikan life skills pada siswa. Setidaknya sekitar 70 persen siswa membutuhkan pendidikan keahlian yang dapat dipergunakan untuk hidup. Sebab, dari total siswa yang bersekolah sejak SD hingga SLTA, hanya sekitar 30 persen yang akhirnya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan persentase terbesar langsung harus terjun ke masyarakat.

Konsep life skills dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya sudah ada konsep broad-based curriculum yang diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi secara luas. Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat. Pengertian life skills sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya, bukan sekadar keterampilan, tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya sendiri. Namun, penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik, seperti fisika, kimia, dan biologi.

Program ini memang baik, tetapi sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup.

Untuk mengadopsi life skills ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Jakarta, tentu akan berbeda life skills yang dibutuhkan dengan mereka yang hidup di Bali.

Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, pertukangan tidak banyak mendapatkan tempat. Yang jelas, penyelenggara pendidikan nasional, dalam hal ini Depdiknas harus bekerja lebih keras agar dapat memberikan pendidikan keahlian yang bisa dipergunakan untuk hidup pada peserta didik. Esensi pendidikan harus dapat memberi kemampuan untuk menghidupi diri yang bersangkutan, mengembangkan kehidupan yang lebih bermakna, dan kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.

"Paling tidak, karakter pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan harus dapat memberikan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri itu sejajar dengan gagasan Depdiknas untuk memasukkan life skills ke dalam pendidikan," ujar Prof Muchtar Buchori, tokoh pendidikan. Pendidikan nonformal, menurut pendapatnya, sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia, antara lain, besarnya angka pengangguran akibat kurang terampil. Salah satu langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat terdidik dan sejahtera dalam bidang pendidikan nonformal, program pendidikan life skills. Life skills ini pun menjadi primadona bagi PLS, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat.

Program ini bertujuan meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga lulusannya menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian itu berbasis potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan maupun perkotaan, serta berorientasi pada pasar lokal, nasional, dan global.Dengan demikian, katanya, kualitas, produktivitas dan pendapatan masyarakat kelompok sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat. Pemberian ketrampilan life skill pada kalangan remaja lulus sekolah SMU/SMK/MA, terlebih yang putus sekolah penting diberikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Kebanyakan dari mereka belum siap kerja, apalagi untuk siap hidup. Mereka perlu tambahan bekal kecapakan hidup, dan Yayasan Dharmais bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan kegiatan pelatihan life skills. Pembekalan ketrampilan tersebut dikemas dalam program Pesantren Singkat Pelatihan Usaha Ekonomi Produktif (PSPUEP). Selain memberi berbagai ketrampilan juga diperkuat dengan pembekalan mental dan rohani. “Tujuannya agar kelak para santri putra dan putri selain siap menjadi SDM siap pakai tapi juga memiliki akhlak dan bermoral,” kata Ngatman dari Yayasan Dharmais.

Kegiatan ini, jelas Ngatman, dulunya dilakukan Yayasan Dharmais guna menyiapkan sekaligus menambah ketrampilan para transmigran ini, diikuti para remaja yang tidak bisa melanjuktan sekolahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan ekonomi. Melalui pelatihan singkat ini, mereka dilatih untuk berinovasi, berkreasi, berprestasi, serta belajar bersosialisasi guna membangun kepercayaan baik kepada orang tua, sesama teman maupun masyarakat.

PSPUEP dilakukan di Bogor (Jabar), Kulon Progo (DI Yogyakarta), Magetan dan Bondowoso (Jatim), Kutai Timur (Kaltim), Jakarta Barat (DKI Jakarta). Pelatihan di enam tempat tersebut diikuti 800 orang peserta. PSPUEP Cimandala, Bogor menyerap 180 orang (80 putra dan 80 putri), Pengasih, Kulon Progo diikuti 160 orang (83 putra dan 77 putri), Takeran, Magetan sebanyak 160 orang (80 putra dan 80 putri), Pondok Pesantren Al Ishlah Bondowoso diikuti 80 orang (40 putra dan 40 putri), Pondok Pesantren Hidayatullah Sanggatta, Kutai Timur merekrut 80 orang peserta putra, dan di Pesantren Al kamal, Jakbar diikuti 160 orang (80 putra dan 80 putri).

Jenis ketrampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, pembuatan bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, dan otomotif. “Melalui kegiatan yang positif dan membangun melalui aneka pilihan kegiatan tersebut remaja potensial tersebut bisa terbekali, tidak hanya sebatas pada pengetahuan saja, tetapi juga ketrampilan dan sikap kepribadian yang baik dan luhur.

Kegiatan ini juga merupakan bukti dari tanggung jawab moral dari yayasan, ” kata Ngatman lagi. Jika Yayasan Dharmais memusatkan kegiatan pelatihan life skils di “pesantren-pesantren”, sedangkan Yayasan Damandiri bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi negeri dan swasta, Sekolah Menengah Atas dan Pemerintah Daerah. Untuk wilayah timur yang dikoordinasikan meliputi Provinsi (Prov) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali melalui LIPM (Lembaga Ilmu dan Pengabdian Masyarakat) Pascasarjana Universitas Airlangga. Untuk wilayah barat meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu dengan kooedinator Yayasan INDRA bersama P2SDM IPB (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Institut Pertanian Bogor).

“Pada tahun 2006 koordinator berdasarkan kesepatakan antara Wakil Ketua I Yayasan Damandiri dengan Rektor Undip Semarang wilayah tengah dilimpahkan kepada LPM Undip, yang meliputi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta,” kata Dr Rohadi Haryanto, MSc, Asisten Administratur Bidang Program Khusus Yayasan Damandiri. pelatihan life skills model Yayasan Damandiri menekankan pada pembinaan kewirausahaan kepada siswa SMA dan masyarakat sekitar kampus. “Program pengembangan SDM ini selain ditujukan untuk meningkatkan mutu akademis juga kepada para siswa terutama yang tidak akan melanjutkan kuliah dipersiapkan memiliki life skill, sehingga setelah lulus dapat melakukan usaha mandiri,” papar Rohadi.

Latihan untuk siswa, tambahnya, dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian materi pelajaran ekstra kurikuler. Pelaksanaannya dapat diberikan di kelas atau laboratorium dengan mendatangkan tenaga pengajar atau pelatih yang betul-betul mengusai bidangnya. Atau mengirim siswa ke tempat-tempat kursus atau mengikuti magang di perusahaan, pabrik amupun tempat kerja lainnya. “Untuk pelaksanaannya Pimpinan sekolah melakukan pemilihan 20 orang siswa sebagai calon yang akan mengikuti pelatihan berdasarkan kriteria yang ditetapkan, seperti anak keluarga tidak mampu, sudah menduduki kelas 2 atau 3, tidak akan melanjutkan kuliah dan sebagian besar adalah perempuan,” terang Rohadi.

Sedangkan untuk kegiatan pengembangan kewirausahaan baik yang dilakukan terhadap siswa maupun masyarakat umum di sekitar kampus dengan melibatkan para mahasiswa yang telah duduk di semester VII. Nampaknya dalam mengatasi masalah pengangguran mempengaruhi sisi supply dan demand tenaga kerja, adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Pada sisi demand, perlu diupayakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap tenaga kerja. Pada sisi supply, perlu dihambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada elemen laju pertumbuhan angkatan kerja, terkait di dalamnya soal laju pertumbuhan penduduk. Maka, pada sisi supply, hal yang perlu dilakukan adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja, memang ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Sabtu, Juli 11, 2009

REFORMASI ! A MISSION IMPOSIBLE


O Tempora! O Mores! [Cicero, 106-43 SM]

Oh, zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini!

KUTIPAN pembuka pidato Cicero, politikus Roma di hadapan Senat Romawi 8 November 63 SM lampau kembali bergema di persada nusantara yang sedang digonjang-ganjingkan oleh prahara alam dan manusia. Mendadak rakyat mendapat kejutan hadiah pada ulang tahun sewindu reformasi, penghentian kasus hukum mantan Presiden Soeharto! Ada apa gerangan? Benarkah reformasi sungguh-sungguh terjadi?

Apakah issue ini sengaja dirilis media massa sebagai bagian dari strategi agenda setting untuk sekadar meningkatkan tensi politik karena Mei merupakan “bulan keramat”? Atau karena jubah politik sudah kotor [Kompas, 10/05/06] dan janji “Bersama Kita Bisa” benar-benar tinggal janji, maka demo buruh dan amuk massa rakyat dengan campuran tafsir politik kejawen atas fenomena alam gunung Merapi dapat dijadikan petunjuk bahwa mahasiswa Indonesia harus bersiap-siap kembali untuk melakukan aksi ekstra parlementer secara masif dan serentak? Bagaimana sebaiknya memahami kejutan-kejutan sosial yang semakin menjamur di bulan perlambang kebangkitan kesadaran rakyat ini?

Tiga Ilusi Reformasi

Minimal ada tiga fakta di seputar gerakan mahasiswa, demonstrasi buruh dan amuk massa rakyat Mei 1998 lalu dengan Mei 2006 ini yang akhirnya hanya melahirkan ilusi reformasi. Pertama, reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa baru mendapat dukungan kelompok buruh “hanya” seminggu menjelang lengser keprabon Presiden Soeharto. Rasa gemas aktivis mahasiswa melihat lambatnya respon gerakan buruh waktu itu begitu tinggi. Pun demikian sejumlah aktivis mahasiswa dapat memahaminya mengingat dampak krisis ekonomi benar-benar terasa menghajar dan melumpuhkan ekonomi buruh hingga ke titik nadir sehingga mereka tidak memiliki cukup “tenaga” untuk mengkonsolidasikan suatu gerakan. Apalagi, upaya sistematis untuk memandulkan gerakan buruh telah dikerjakan oleh Orde Baru sejak dini paska tragedi 1965 dengan dihimpunnya kaum buruh yang bersekutu dengan tentara dalam FBSI [Federasi Buruh Seluruh Indonesia], kemudian dikenal sebagai SPSI [Serikat Pekerja Seluruh Indonesia].

Sebaliknya demonstrasi buruh di Mayday lalu yang berlanjut dengan “aksi kejutan” 3 Mei yang sempat menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan ibukota, nyata belum diiringi dengan dukungan masif gerakan mahasiswa. Kondisi ini bertolak belakang dengan kejadian sewindu lalu dan menjadi tanda bahwa reformasi tidak sekaligus berhasil mempererat simpul-simpul demokrasi antara gerakan mahasiswa dengan elemen buruh. Memang reformasi mampu melahirkan berbagai organisasi buruh, ratusan LSM yang memperjuangkan nasib buruh dan beragam kelompok diskusi mahasiswa pro buruh.

Toh secara substantif belum berhasil membuat sebuah jala sosial yang dalam situasi dimana buruh dirugikan maka jala ini dapat dipakai untuk menangkap penjahat kakap pengambil kebijakan yang tidak populis dan tidak pro buruh.Bahwa pertemuan bipartit buruh-pengusaha dinilai sebagai langkah progresif di satu sisi mencerminkan keberhasilan diplomasi jalanan gerakan buruh. Kedua belah pihak selanjutnya diharapkan mampu memajukan negara dan kesejahteraan warga-rakyat [Kompas, 10/05/06]. Tetapi dinginnya respon mahasiswa atas gerakan buruh belakangan ini telah menjadi tanda kegagalan konsolidasi demokrasi paska reformasi. Buruh terlihat berjuang sendirian tanpa dukungan berarti elemen gerakan mahasiswa. Fenomena ini menunjukkan lemahnya kaderisasi internal masing-masing pihak.

Artinya, komunikasi politik antara buruh dan mahasiswa yang pernah dilakukan secara intensif sesaat menjelang dan sesudah reformasi 1998 tidak berhasil dikelola dengan sistematis untuk kemudian diteruskan pada aktivis gerakan mahasiswa dan buruh generasi sesudahnya. Fakta ini telah meruntuhkan pernyataan para pengamat atas adanya konsolidasi demokrasi secara intensif di tingkat akar rumput. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa dan buruh paska reformasi tidak saling bersinergi dan belum sampai pada tahap simbiosis mutualism. Maka konsolidasi demokrasi paska 1998 hingga kini hanyalah sekadar ilusi reformasi.

Rekonsiliasi dan masyarakat

Kedua, ilusi rekonsiliasi. Enam agenda reformasi 1998 yang menjadi tuntutan massa rakyat waktu itu adalah penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. De facto dan de jure sebagian agenda tersebut telah dilaksanakan pemerintah meski lambat dan sering terkesan hanya untuk kepentingan membangun citra positif presiden terpilih bersama para menteri pembantunya.

Aktifitas public relations yang dikerjakan pemerintah transisi lebih bersifat reaktif guna merespon dinamika tuntutan arus bawah yang masih kuat. Pemerintah dibuat gamang dan tidak memiliki keberanian untuk membuat suatu kebijakan yang mendasar dan gradual. Padahal, substansi pelaksanaan agenda reformasi total pada akhirnya akan bermuara pada soal kemampuan Republik ini menyelesaikan problematika serta ingatan sosial politik yang kelam dan gulita di masa lalu secara damai - agar dapat melangkah dengan tenang hati menyongsong masa depan - alias rekonsiliasi.

Dibentuknya berbagai komisi independen seperti KPK yang menangani korupsi dan KKR yang bekerja demi rekonsiliasi nasional lagi-lagi tidak mampu menunjukkan kinerja progresifnya sehingga benang kusut persoalan di Republik ini semakin semrawut. Kaburnya Gunawan Santoso, kasus suap di lingkaran elit kejaksaan, amuk massa Tuban, ketidakjelasan aktor intelektual tragedi Trisakti dan Semanggi hanyalah daftar awal indikator kegagalan kerja-kerja KPK dan KKR maupun beragam komisi lainnya yang telah dibentuk pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan agenda reformasi.

Progres tanpa arti atas kinerja KKR yang mendapat ilham dari success story model Afrika Selatan pun ternyata tidak dibarengi dengan penegakan hukum berdasarkan prinsip, asas dan hakekat keadilan. Sehingga orang-orang seperti Eurico Gutteres, Tibo cs. dan Pollycarpus hanyalah pemeran kambing hitam yang harus dijadikan tumbal. Tidak tertutup kemungkinan bertambahnya kambing hitam lain yang akan ditangkap dan dieksekusi.

Contoh paling mutakhir menyangkut rasa keadilan ini adalah proses hukum Soeharto. Sejas semula memang telah disadari bahwa peran dan pengaruh sejumlah politisi anak asuh penguasa Orde Baru ini akan berhasil mempengaruhi elit politik Jakarta. Peradilan Soeharto pun telah dihentikan [Kompas, 11/05/06]. Maka upaya para loyalis Soeharto agar rakyat bisa dan mau mengampuni dosa mantan presiden mereka dengan memanfaatkan momentum usia senja Soeharto yang kabarnya semakin lemah oleh rongrongan penyakit jelas telah mengabaikan rasa tanggung jawab dan menusuk martabat kemanusiaan rakyat. Kenyataan akan kebusukan birokrasi, rapuhnya relasi sosial, menjamurnya korupsi dan mafia peradilan, keterbelakangan dunia pendidikan, kemandulan budaya bangsa, kemiskinan struktural, kekerasan sistemik serta rusaknya perekonomian bangsa dan tata nilai hidup bernegara tidak dapat dilepaskan begitu saja sebagai akibat kebijakan nasional di bawah kuasa Soeharto selama tiga dasawarsa lebih.

Dalam konteks demikian jelas harus ada pihak yang bertanggungjawab dan mendapatkan punishment sebagaimana prosedur hukum wajib ditegakkan serta dijunjung tinggi. Bukan karena nafsu balas dendam politik melainkan semata oleh sebab semangat menghormati prinsip-nilai keadilan. Sebab rekonsiliasi tanpa keadilan adalah mimpi. Dan keputusan menutup kasus hukum Soeharto tanpa proses pengadilan lebih lanjut telah menghempaskan upaya rekonsiliasi menjadi sekadar ilusi.

Ketiga, masyarakat madani atau civil society adalah ilusi reformasi. Bagi negara kepulauan Republik Indonesia dengan lebih dari dua ratus juta penduduk yang begitu plural dan khas dalam keidentitasan dan watak masing-masing etnis yang bersekutu di dalamnya, pemahaman bersama [mutual understanding] sebagai sebuah negara bangsa bernama Indonesia belumlah terwujud. Sebagaimana sering diakui oleh kaum cerdik pandai kita, Indonesia masih dalam proses mencari jati diri untuk kemudian menjadi. Sebagai bagian dari intelektual revolusioner, Soekarno pun sejak awal telah menyadarinya. Maka tak heran bila Bapak Bangsa ini segera mencanangkan gerakan pembangunan watak bangsa [nation and carhacter building] usai proklamasi.

Sehingga tidak mengherankan bila kerawanan sosial yang membuncah menjadi tawuran antar kampung, amuk massa di berbagai kota, pembantaian rasial, kisruh politik dalam pilkada, teror bom dengan mengibarkan bendera agama, intimidasi kepada peserta demonstrasi yang berseberangan pendapat, hingga kekerasan akibat kemiskinan akut yang semakin meningkat paska reformasi adalah tanda bahwa terwujudnya suatu civil society yang menjunjung tinggi demokrasi masih sebatas perdebatan intelek di dalam kampus atau aula hotel.

Terlebih bila kekuatan masyarakat sipil - yang umumnya diwakili oleh kelompok swadaya masyarakat dan didukung oleh media massa serta gerakan mahasiswa dan buruh - ternyata masih tidak mampu menyelesaikan pekerjaan rumah agenda reformasi total yang diamanatkan rakyat sejak sewindu lalu, maka apa yang diharapkan dari terwujudnya sebuah civil society tidak lebih dari urusan pencitraan agar sepertinya memang ada meski sesungguhnya hanyalah ilusi belaka.

Demikian para aktivis pergerakan, intelektual kampus, masyarakat media, kaum pengamat dan peneliti hingga rakyat yang sudah memiliki kematangan politik pun masih saja bersemangat menggelorakan pesan demokrasi, rekonsiliasi dan mimpi akan terwujudnya masyarakat madani. Padahal, sesungguhnya segala bentuk tindakan dan usaha untuk melupakan Soeharto tidak lain adalah lambaian tangan selamat tinggal kepada reformasi. Sebuah misi heroik yang tak mungkin tercapai, sebuah ilusi dalam a mision impossible! [*]

Oleh : Michael Yudha W

Demokrasi Elegan Berbasis Oposisi

Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru sampai era Reformasi, sikap warga mengkritisi kebijakan dan tindakan pemerintah sangat beragam. Salah satu sikap itu dikenal dengan sebutan oposisi. Biasanya, oposisi memang menggambarkan "perlawanan" dari orang-orang dalam posisi diperintah terhadap mereka yang menduduki posisi memerintah. Pengertian ini dapat dipahami, karena oposisi berkaitan dengan upaya mengawasi roda kekuasaan negara, ataupun tertuju ke partai yang berkuasa atau partai yang memenangkan pemilu sebelumnya.

Oposisi merupakan satu sikap dari berbagai pemikiran relatif mapan, punya landasan sistem, bersikap holistik, dan ditandai oleh ciri integrasi antarsejumlah bagian dalam sistem itu (integrasi subsistem). Itu sebabnya, mengapa pemahaman tentang oposisi tidak boleh menggunakan "kacamata kuda". Sebab, oposisi biasanya dilandasi oleh tuntutan akan kemerdekaan atau kebebasan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri, baik disertai maupun tidak disertai nafsu politik subjektif, berhadapan dengan kepentingan pihak lain.


Sebagai contoh, perasaan tidak bersedia dipimpin oleh pihak atau kelompok sendiri, mengakibatkan terjadinya politicing atas kepentingan politik atau nonpolitik pihak-pihak yang memerintah. Contoh sederhana, pihak tertentu yang kalah dalam pesta demokrasi (pemilu legislatif, pemilihan presiden, pilkada) biasanya akan bersikap menentang pemenang. Ini disebabkan kepentingan kritis mereka (kalah dalam pesta demokrasi) mendorong tumbuh dan berkembangnya kultur politik antidemokrasi.


Namun sebaliknya, yang muncul adalah kultur oposisi. Itu sebabnya mengapa oposisi cenderung bersifat bertentangan terhadap demokrasi, jika oposisi bersifat berlebihan. Pada era reformasi sekarang, kinerja sistem oposisi yang bertentangan dengan semangat demokrasi dibentuk oleh kepentingan mengawasi kekuasaan dari pihak-pihak yang berkuasa, seolah tanpa batas, namun kemudian mendahulukan praktik perlawanan. Dengan demikian, akuntabilitas oposisi yang sebenarnya justru merupakan elemen demokrasi menjadi kehilangan nilai luhur.


Watak Demokrasi


Bagi kita di Indonesia, konsep oposisi yang dibentuk oleh tekad melawan pemerintah atau partai yang memenangkan pemilu, atau tertuju pada kekuatan lain di balik pemegang kekuasaan formal, pada gilirannya akan merusak tujuan demokrasi. Terutama pada saat oposisi diberlakukan dengan cara-cara kekerasan. Kandidat yang kalah dalam pemilu mengambil tindakan masif, melalui pengerahan massa dengan cara merusak objek-objek vital milik pemenang pemilu. Kultur oposisi di Indonesia sebetulnya sudah terbentuk lama. Terutama ketika mayoritas masyarakat memandang sikap-sikap feodal sudah bukan zamannya lagi untuk dipertahankan.


Kalau pada masa lalu orang-orang yang berada di kelas atas (sistem kerajaan atau sistem republik) seolah-olah tabu dikritik, namun sejak beberapa waktu lalu, "orang kecil" (wong cilik) memiliki keberanian menyampaikan daya kritis pribadi kepada pemerintah atau kepada keluarga/keturunan raja. Sebaliknya, demokrasi yang merupakan salah satu ciri dari hak asasi manusia (HAM), dapat menerima sikap oposisi, sejauh sikap oposisi tidak disertai tindakan anarki. Sebagaimana halnya demokrasi, oposisi dapat mengatasnamakan rakyat, orang kecil, atau demi hak mayoritas. Namun, oposisi tidak boleh bersikap kontradiktif terhadap fatsun oposisi itu sendiri.


Baik oposisi maupun demokrasi perlu sama-sama mengenal rambu/pembatasan. Sebab, oposisi tanpa rambu dapat mengakibatkan para pendukungnya bersikap dan bertindak brutal (anarki), terutama yang bertujuan menjatuhkan lawan. Sementara demokrasi tanpa fatsun, dapat pula membuka jalan untuk bersikap berlebihan dalam berdemokrasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan democrazy. Ini bertentangan dengan ajaran leluhur demokrasi, seperti Socrates dan Aristoteles. Demokrasi tanpa fatsun juga dapat merusak terjaminnya kebebasan manusia untuk memperoleh dan atau memperjuangkan hak asasinya (HAM). Oleh karena itu, sangat logis jika watak demokrasi dapat menuntun semua pihak yang berupaya membangun demokrasi di negeri ini untuk senantiasa melandasi sikap dan perilaku demokrasinya berbasis apresiasi setinggi-tingginya terhadap tegaknya HAM.


Kesejahteraan Rakyat


Demokrasi berbasis HAM, diharapkan mampu menjabarkan secara detail penerapan demokrasi di lapangan. Salah satu di antaranya berbentuk sikap pendukung demokrasi untuk mewarnai praktik politik di balik demokrasi itu sendiri, dengan cara-cara yang bermoral, tanpa intrik, tidak meng halalkan cara, dan tidak menjadikan demokrasi sebagai tujuan, tetapi alat mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan rakyat. Pengakuan HAM sebagai basis demokrasi mutlak diperlukan dalam negara demokrasi. Sebab, basis HAM ini diharapkan dapat memacu tumbuh dan berkembangnya kultur politik yang berwatak kemanusiaan.


Di samping itu, akan mendorong tumbuh dan berkembang upaya memperkuat jamin an penggunaan kemerdekaan/kebebasan menyatakan pemikiran, perasaan serta hak berserikat yang melekat dengan keberadaan manusia. Dengan demikian, ketika orang berbicara tentang demokrasi, ia akan berbicara soal HAM. Sebaliknya, pada saat orang memperbincangkan kepentingan HAM, orang itu akan mengutamakan cara-cara demokrasi, tanpa menutup akses kultur oposisi yang mengenal rambu pembatas. Ini berarti, HAM dapat memberikan toleransi bagi tegaknya oposisi, sejauh tidak memberikan akses terhadap terjadinya anarki. ***


Oleh : Dr. Januari Siregar, SH, M.Hum
Penulis adalah: Alumni Doktor Hukum USU Medan/ Advocat di Kota Medan

Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Rasionalisme

DALAM kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya.Dari waktu ke waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik kesetimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari masa Soekarno hingga pemerintahan SBY saat ini.


Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.Ia menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan aktif.


Bila diamati dengan cermat, sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, 1953), politik luar negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian jawaban atas pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting for their freedom no other course of action open to them than to choose between being pro-Russian or pro-American? The government is of the opinion that position to be taken is that Indonesia should not be a passive party in the arena of international politics but that it should be an active agent entitled to determine its own standpoint. The policy of the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own interests and should be executed in consonance with the situations and facts it has to face.


Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang dikemukakan oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai kemandirian dan kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan bahkan kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik. Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional.

Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers kita adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional. Contoh yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni Soviet pada 1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan Hitler. Para pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan Hatta untuk menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin dijauhkan dari prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip realisme.


Dalam menghadapi dilema di atas, Soekarno dan Soeharto–dua presiden yang lama berkuasa–menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi imperialisme dan kolonialisme.


Di lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan negara-negara Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk menjaga independensi politik Indonesia. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia melalui ASEAN menolak kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia Tengggara. Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang bipolar, terbagi dua antara Blok Barat dan Timur.


Tren demokratisasi


Dengan berlangsungnya proses transisi menuju demokrasi, beberapa pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim demokratis yang solid bisa dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim otoriter, dengan beragam bentuk dan levelnya, tetap mewarnai politik domestik Indonesia dan pada akhirnya wajah sentralistis dari perumusan kebijakan luar negeri kita tetap dominan?


Di sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan fundamental. Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah berantakannya negara Uni Soviet, format konstelasi politik internasional belum lagi menemukan bentuknya. Variabel yang harus diperhatikan pun semakin kompleks setelah terjadinya aksi terorisme ke New York dan Washington pada 11 September 2001. Perang melawan teror yang dikampanyekan Amerika Serikat di seluruh dunia, amanat demokratisasi dan juga tantangan-tantangan baru yang muncul setelah Perang Dingin membawa kita pada satu pertanyaan: di manakah dan bagaimanakah Indonesia menempatkan dirinya?


Tampaknya peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi yang mengikutinya menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara biasa ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia sangat terkait erat dengan dinamika politik internasional dan demikian pula sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy begins at home, yang menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri merupakan cerminan dari politik dalam negeri, maka kini kita bisa saksikan bahwa politik domestik bisa amat dipengaruhi oleh dinamika eksternal kita.


Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers Departemen Luar Negeri (Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor ‘intermestik’, yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia ke luar, tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri. Konsekuensi logis dari situsi ini adalah bahwa kita harus mampu berpikir outward-looking dan inward-looking pada saat bersamaan.


Sudah jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu utama dalam politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam usaha meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang state-centric, isu-isu yang nonstate centric semakin mendapatkan perhatian.


Isu-isu ini tidak meniadakan isu keamanan dan isu militer lama, akan tetapi banyak aspek dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk. Pada dekade 1990-an, isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin mengemuka. Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional seperti pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking, serta isu small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi negara kepulauan dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti Indonesia, tentu saja hal ini menjadi persoalan yang harus mendapat perhatian utama.


Diplomasi kita telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui diakuinya status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The Sea Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah memperluas wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi! Karena itu, menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini tidak hanya menjadi tugas angkatan bersenjata kita untuk semakin mengorientasikan diri pada pengembangan kapasitas kelautan dan udara daripada terus-menerus bertumpu pada kekuatan teritorial darat yang bisa dikatakan semakin tidak relevan apabila dikaitkan jenis dan bentuk ancaman yang baru tersebut.


Tentunya, kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan keberhasilan diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti tersebut di atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan memaksimalkan potensinya menjadi sebuah maritime power sungguhan atau hanya menjadikannya sebagai legenda historis nenek moyang.


Demokratisasi dan juga situasi eksternal yang berubah cepat juga menimbulkan situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik negara ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin tidak terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting karena ia memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok nonnegara yang bergerak dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses perjuangan masyarakat Timor Timur mencapai kemerdekaannya. Sementara, Indonesia sangat terlambat dalam melibatkan beragam aktor nonnegara dalam berbagai isu.


Kendala utamanya tampaknya terletak pada mindset kita bahwa kedaulatan negara dipahami sebagai sebuah konsepsi yang state-centric, sehingga isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan human security yang tentu saja akan melibatkan aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai isu yang akan mereduksi kedaulatan dari state. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, politik luar negeri harus dibimbing tidak hanya oleh prinsip-prinsip ideasional belaka, tapi harus pula dibimbing oleh prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan yang ada semakin menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk menghadapinya maka tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di samping itu, demokratisasi menuntut keadaan ketika semua orang atau kelompok memiliki akses yang sama terhadap perumusan kebijakan, termasuk kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting adalah prinsip bebas aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana Indonesia bebas memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya secara aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis seperti pada masa Perang Dingin.


SATU INDONESIA
Edisi Khusus Akhir Tahun Media IndonesiaJumat, 20 Desember 2002