Kamis, Agustus 27, 2009

Kekayaan yang Dicaplok Jiran

Tidak sedikit produk, budaya, dan karya anak bangsa dipatenkan pihak lain. Kasus lagu Rasa Sayange menggugah kesadaran bangsa Indonesia untuk melindungi kekayaan budaya bangsa dengan cara mematenkannya. Saung Angklung Udjo (SAU) yang didirikan 40 tahun silam oleh Udjo Ngalagena menjadi salah satu benteng pelestari angklung. Kontroversi lagu Rasa Sayange yang digunakan sebagai jingle iklan promosi wisata Malaysia belum berakhir. Bahkan, pemerintah Negeri Jiran telah mematenkan lagu tersebut. Padahal, masyarakat Indonesia mengenal Rasa Sayange sebagai lagu daerah Maluku.


Perdebatan pun terus memanas di internet. Bahkan, belakangan juga diketahui lagu daerah Betawi, Jali-Jali telah dipopulerkan sebagai lagu dari Langkawi, Malaysia. Terakhir yang menjadi polemik adalah klaim tari pendet mejadi promosi pariwisata Malaysia di TV Kable Discovery Channel. Pemakaian Tari Pendet dalam iklan 'Enigmatic Malaysia' di Discovery Channel, menuai reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Namun, Malaysia menolak keras tudingan bahwa negeri jiran itu mengklaim atau bahkan mencuri budaya Indonesia. Buktinya, pihak Malaysia telah menerima surat permohonan maaf dari jaringan televisi Discovery terkait penayangan tari tradisional asal Bali itu dalam iklannya. Polemik panas penayangan Tari Pendet dalam iklan tentang Malaysia adalah akumulasi kekesalan. Sebelumnya, negeri jiran juga mengklaim angklung, Reog Ponorogo, batik, wayang, lagu Rasa Sayange, Hombo Batu, dan Tari Folaya.


Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia Datok Seri Doktor Rais Yatim seperti dikutip harian The Star menyatakan Indonesia tak akan bisa membuktikan pencipta Rasa Sayange. Guna menghindari kasus tersebut tidak terulang, pemerintah tengah menginventarisir berbagai produk kekayaan intelektual bangsa. Termasuk Rasa Sayange untuk didaftarkan dan dipatenkan oleh negara. Bukti-bukti dicari untuk mendukung klaim Indonesia terhadap Rasa Sayange.


Pakar telematika Roy Suryo menemukan tembang itu dalam film dokumenter tentang kehidupan di Batavia atau Jakarta antara 1927 hingga 1940 berjudul Insulide Zooals Het Leeft en Werkt. Rekaman asli film ini tersimpan di Gedung Arsip Nasional, Jakarta Selatan. Lagu Rasa Sayange juga pernah direkam perusahaan rekaman negara Lokananta di Solo, Jawa Tengah pada 1962 bersama sejumlah lagu lainnya. Penemuan kedua bukti tersebut menunjukkan Rasa Sayange sudah terdokumentasikan sejak 1940-an. Namun, Roy mengingatkan dalam membuktikan klaim lagu itu, Indonesia tidak terjebak oleh permainan Malaysia.


Memang tidak sedikit produk, budaya, dan karya anak bangsa dipatenkan pihak lain. Malaysia bahkan mengklaim kepemilikan angklung, alat musik tradisional dari Jawa Barat. Berbicara tentang angklung memang tak lepas dari nama Udjo Ngalagena. Maklum, jasa almarhum terhadap keberadaan musik tradisional asal Tanah Pasundan ini sangat besar. Dia mendirikan pusat pelatihan, pembuatan, dan pergelaran musik angklung. Tidak hanya membuat angklung terkenal di Tanah Air melainkan hingga mancanegara.


Sejak didirikan 40 tahun silam oleh Udjo Ngalagena, Saung Angklung Udjo (SAU) menjadi salah satu benteng pelestari angklung. Padepokan seni ini senantiasa membuka pintu bagi setiap orang yang ingin belajar angklung, tidak terkecuali orang asing. Menurut Direktur SAU Taufik Udjo, salah satu peminatnya adalah Malaysia. Selain mengimpor, Malaysia banyak mengirim warganya untuk belajar angklung.


Namun, Direktur Hak Cipta dari Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM, Anshori Sinaungan mengatakan, pendaftaran HaKI atas angklung oleh Malaysia hanya rumor dan belum terbukti.


Anshori juga menyebutkan, pendaftaran hak atas kekayaan intelektual untuk angklung ternyata sulit dilakukan karena tidak diketahui siapa penciptanya. Menurut pasal 10 UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta, untuk produk yang tidak diketahui penciptanya, maka dikuasai oleh negara. Untuk itu, Depkum dan HAM tidak bisa memberikan HaKI terhadap angklung maupun folklore.
“Jika diberi HaKI, berarti bertentangan dengan pasal 10 UU No. 19/2002. Kecuali jika angklung mengalami pengembangan dari barang tradisional menjadi kontemporer. Nah, proses pengembangannya itulah yang bisa diberi hak cipta atau hak desain industri.”


Kain batik tak luput dari sasaran. Kain busana nasional Indonesia ini dipatenkan negara tetangga, salah satunya Malaysia, sebagai busana milik mereka.Selain kekayaan budaya, bahan makanan kini mulai dilirik asing untuk dipatenkan. Seperti tempe dan jengkol yang dipatenkan Jepang dan beberapa negara lain, kemudian kunyit, yang baru-baru ini dipatenkan perusahaan minuman di Jepang.


Bahkan Malaysia pun telah mematenkan rendang, yang berasal dari Sumatera Barat. Dalam budaya Minang, rendang memiliki tempat terhormat. Pada upacara pengukuhan seorang datuk, sang pemimpin adat harus menghidangkan rendang. Rendang yang tadinya hendak dipatenkan Pemerintah Provinsi Sumbar sejak 2004 hingga kini belum terlaksana. Sayang, pemerintah Indonesia kurang cepat menanggapi masalah seperti ini.


Perlu Kesadaran Sebenarnya, jika para peneliti dan ilmuwan di Tanah Air punya kesadaran untuk melindungi HaKI, pendaftaran hak paten atas suatu karya oleh negara lain bisa dibatalkan.
Banyak yang mengeluh bahwa permohonan pendaftaran paten memakan waktu yang lamaKasus pembatalan paten oleh perusahaan Jepang pernah terjadi pada pertengahan 2002. Perusahaan kosmetik Shiseido membatalkan paten atas rempah-rempah Indonesia yang mereka gunakan menjadi bahan baku produk kecantikan mereka. Bahan rempah-rempah itu antara lain kayu rapet, kemukus, lempuyang, belantas, brotowali, dan cabai.


Langkah Shiseido menarik kembali permohonan patennya dari kantor paten Jepang itu terjadi setelah setahun lebih beberapa lembaga swadaya masyarakat menentang upaya pematenan atas ramuan tradisional yang telah lama digunakan masyarakat Indonesia itu.


Namun langkah Indonesia selalu bersifat reaktif, bukan preventif. Pemerintah Indonesia tidak segera mendata kekayaan produk negaranya kemudian segera mematenkannya. Menurut Anshori Sinaungan, kesadaran orang Indonesia untuk mengurus hak paten sangat rendah. Tidak mengherankan jika Indonesia sering terkaget-kaget mendengar negara lain lebih dulu mematenkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat secara turun-temurun.


Padahal negara-negara maju selalu berpandangan bahwa yang berhak mematenkan ialah mereka yang mengembangkan sumber daya hayati bersangkutan. Jadi meski sumber daya hayati Indonesia mereka temukan di Indonesia, tetapi karena mereka yang kemudian mengembangkannya menjadi tanaman yang berguna untuk pengobatan, merekalah yang berhak mematenkan. Alasan mereka, sumber daya hayati adalah ciptaan Tuhan.


Untuk itu, demi mencegah ‘pencurian’ paten atas sumber daya hayati Indonesia, setiap peneliti asing yang meneliti dan mengembangkan tanaman di Tanah Air harus mendapatkan izin dari pemerintah.Sementara itu, masyarakat yang berhasil mengolah atau memproduksi hasil kekayaan Tanah Air diharapkan mau mengambil langkah mematenkan temuannya.


Inventarisasi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan naskah lagu-lagu karyanya kepada Menhuk HAM Andi Mattalata, untuk memperoleh hak cipta, di JEXpo, Arena Pekan Raya, Minggu (28/10)Indonesia memang dikenal sebagai negara yang menyepelekan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Tidak mengherankan bila negeri ini sempat masuk daftar priority watch list (daftar pengawasan khusus) yang dikeluarkan International Intellectual Property Alliance (IIPA) dan United States Trade Representative (USTR).


Menurut kedua lembaga itu, seperti dikutip dari Media Indonesia (16/3/2006), pelanggaran terparah yang dilakukan Indonesia, selain paten, adalah dalam bentuk pembajakan di bidang musik, film, dan peranti lunak. Dalam bidang peranti lunak, Indonesia pernah masuk urutan ketiga, setelah China dan Vietnam.


Siapa pun dengan mudah menyaksikan di pusat perbelanjaan maupun di pertokoan, berbagai peranti lunak bajakan dijual bebas, meskipun sebelumnya polisi berkomitmen akan memberantas sampai ke akar-akarnya. Karya bajakan dalam bentuk CD dijual antara Rp 10 ribu-Rp 20 ribu per CD. Harga yang sangat murah untuk sebuah pemikiran cemerlang. Itu baru satu contoh betapa Indonesia sangat menyepelekan HAKI orang lain. Walaupun umumnya peranti lunak yang dibajak bukan hasil karya bangsa sendiri, namanya tetap kejahatan karena mencuri hak cipta orang lain.


Di sisi lain, selama ini kebanyakan orang berpikir bahwa hak paten hanyalah ditujukan untuk barang-barang penemuan yang sifatnya hasil karya terbaru maupun sebuah inovasi. Atau, barang-barang yang identik dengan hasil penemuan teknologi berbau modern. Padahal hak itu juga mencakup hasil budaya dan tradisi bangsa yang diwariskan leluhur turun temurun.


Kini, setelah kasus lagu Rasa Sayange yang diklaim Malaysia mengemuka, mulai 23 Oktober lalu, karya cipta para seniman dan budayawan dilindungi secara hukum oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM). Dengan perlindungan tersebut, diharapkan tak akan ada lagi karya cipta para seniman dan budayawan Indonesia yang dicaplok negara lain.


Perlindungan hukum karya-karya cipta hak intelektual para budayawan dan seniman Indonesia itu ditandai dengan ditandatanganinya naskah kerja sama antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hadir dalam acara yang dilangsungkan di Balairung Gedung Sapta Pesona Depbudpar itu antara lain Menbudpar Jero Wacik dan Menkum dan HAM Andi Mattalatta SH., MH.


Perjanjian kerja sama itu, menurut Jero Wacik, lebih banyak ditekankan pada bidang perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan intelektual ekspresi budaya warisan tradisional milik bangsa Indonesia. Melalui kerja sama itu kita juga bisa memberdayakan ekspresi budaya milik bangsa Indonesia. Artinya, jika ada karya cipta milik bangsa Indonesia yang diklaim bangsa lain sebagai miliknya, maka kita bisa melakukan perlindungan secara hukum. Apabila karya tersebut tetap diklaim secara sepihak, Indonesia bisa memperjuangkan hak karya cipta tersebut dengan cara meminta royalti.


Menyusul penandatanganan itu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo AS pada Kamis (25/10) siang, mengumpulkan pihak terkait yang berhubungan dengan hak kekayaan intelektual. Pemerintah kini tengah menginventarisir berbagai produk barang, makanan, serta karya lainnya untuk didaftarkan dan dipatenkan oleh negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar