Senin, Juni 29, 2009

Lunturnya Pesona dan Keagungan Negara

Di tengah impian dan harapan masyarakat warga (civil society) akan perubahan nasib, pada awal 2008 ini kita disergap mimpi buruk dengan naiknya harga berbagai jenis kebutuhan pokok. Pengusaha tahu dan tempe pun gulung tikar diterjang harga kedelai yang sangat tinggi. Belum lagi konflik sosial dan seputar pilkada yang terus muncul menambah runyamnya keadaan. Logikanya, kehidupan masyarakat, khususnya rakyat kecil, kian merana.

Maka, pertanyaan klasik pun mencuat, untuk apa negara didirikan kalau tidak sanggup membebaskan masyarakat warga dari berbagai persoalan yang datang silih berganti? Apa pun jawabannya, yang jelas realitas kehidupan sosial seperti ini mengindikasikan bahwa negara ini masih tak henti-hentinya digelayuti persoalan historik kebernegaraan (philosophy of life) atau kenyataan hidup (condition of life), yakni tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin jauh dari impian. Oleh karena itu dibutuhkan keseriusan negara untuk mengatasinya.


Kesejahteraan masyarakat merupakan komitmen dasar, tugas utama, dan tanggung jawab moral negara sejak negara didirikan. Sebab, tujuan didirikannya negara adalah untuk menyejahterakan masyarakat. Jika negara semakin tidak berdaya menyejahterakan masyarakat maka aura kewibawaan, pesona, dan keagungan negara di hadapan masyarakat akan semakin luntur. Ujung dari fenomena itu adalah putusnya kontrak sosial antara negara dan warganya sebagai cermin hilangnya kepercayaan warga terhadap negara dan akhirnya terkikis nasionalisme.


Negara sesungguhnya memiliki pesona dan keagungan. Itu terpatri tatkala negara itu dibangun lewat suatu kontrak sosial antara negara dan masyarakat warga. Dan lahirnya kontrak sosial itu beriringan dengan disepakatinya komitmen negara menyejahterakan masyarakat warga.


Jadi, ditinjau dari perspektif philosophy of life, kesulitan yang semakin menghimpit masyarakat adalah suatu realitas yang secara nyata memotretkan musnahnya kontrak sosial antara negara dan rakyat. Sedangkan dalam perspektif condition of life, kemelaratan hidup rakyat yang terjadi di saat negara masih berdaulat merupakan sebuah penistaan aparat negara oleh aparat negara sendiri yang berujung pada lunturnya pesona dan keagungan negara.


Sebagaimana diaksiomakan dalam teori-teori klasik tentang kontrak sosial bernegara, rakyat menyerahkan hak-haknya secara sukarela untuk dikelola oleh negara. Tujuannya agar tercipta tertib sosial dan terbangunnya kesejahteraan. Negara telah menyatakan kesanggupannya. Dan agar dapat tercipta semua itu rakyat pun telah menyatakan kesediaannya untuk patuh dan cinta pada negara. Di sanalah pesona dan keagungan negara terpatri.


Apabila ditelaah, di balik kontrak sosial itulah awal mula tumbuhnya semangat cinta negara yang disebut nasionalisme. Semangat cinta tanah air yang diikuti khayalan dan imajinasi tentang kehidupan masa depan bersama yang lebih baik. Ungkap Ben Anderson, rasa kebangsaan lahir, tumbuh dan terbentuk lewat proses imajinasi anggota-anggota masyarakat dalam suatu komunitas, membayangkan kesamaan nasib masa depan mereka yang lebih baik. Itu termaktub dalam konsepnya, imagined communities.


Jurang Ketidakadilan


Itulah, benar apa yang ditegaskan oleh Ernest Renan bahwa terbentuknya negara atau peristiwa historik lahirnya suatu bangsa selalu diprakarsai pertama-tama oleh tumbuh dan berkecambahnya kesadaran dalam suatu kolektivitas akan adanya kesamaan cita-cita sebagai tolok ukur yang menyatukan untuk membangun masa depan bersama.


Untuk itu, bisa dimengerti pula bila nasionalisme belakangan ini begitu terkikis dan memudar yang disebabkan oleh belum terwujudnya kesejahteraan rakyat dan jurang ketidakadilan antara yang kaya dan yang miskin menganga lebar. Ironisnya, secara kasatmata aparat negara tampak menonjol sebagai kekuatan utama yang menjerumuskan kebijakan negara ke dalam kondisi yang dipenuhi kebrengsekan.


Ujungnya, rakyat pun tergelitik oleh pertanyaan perihal moralitas negara dalam kaitannya dengan komitmennya untuk membebaskan masyarakat dari berbagai kesulitan dan usahanya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Moralitas negara adalah sebentuk perilaku yang di dalamnya mengandung unsur-unsur keberpihakan moral negara terhadap kepentingan masyarakat. JJ Rousseau mengistilahkannya sebagai volonte generale untuk melokalisasi mereka yang dianggap masuk kriteria tanggung jawab moral negara saat memanifestasikan perlindungannya.


Negara dituntut berperan pro-aktif menyediakan lingkungan yang kondusif bagi penyelenggaraan ekonomi berkaidah moralitas kolektif. Dalam arti, negara tidak semata-mata sebentuk organisasi yang memberikan keuntungan bagi segelintir orang, melainkan secara tegas menjelakkan wilayah keberpihakan bagi kepentingan semua.


Di sini pulalah negara telah melaksanakan tugas-tugas sucinya demi menaikkan kewibawaan, pesona, dan keagungannya. Sebagaimana kekhasan negara sosial yang menurut Magnis Suseno adalah berlakunya prinsip subsidiaritas, yaitu sikap pro-aktif negara untuk mengintervensi aktivitas rakyat bila dianggap perlu. Subsidiaritas dalam hal ini tidak sama dengan etatisme, karena negara hanya terlibat urusan yang dianggap gagal diselesaikan oleh rakyat sendiri.


Di lain pihak, subsidiaritas juga alergi hidup berdampingan bersama liberalisme yang mengkerangkeng peran negara atas nama demokrasi. Sebab, dalam karya liberalisme, negara dapat tidak berdaya di hadapan pemilik modal yang mengandalkan kekuatan pasar sebagai kekuatan merebut kuasa. Sehingga, para pemilik modal dengan semangat kapitalisme begitu mudah dapat mengendalikan dan mendera rakyat.


Padahal, tugas negara adalah sebagai pencipta kesejahteraan rakyat sekaligus sebagai fasilitator yang menyediakan ruang kompetitif bagi seluruh rakyat untuk mengaktualisasikan dirinya dengan salah satu caranya, yakni memaksimalkan warganya untuk memproduksi hasil-hasil alam dari sumber daya alam atau bumi ini. Dan "politik kesejahteraan rakyat" yang diemban negara adalah terus meningkatkan pesona dan keagungannya dengan meletakkan visi dan misi moralnya, serta langkah implementasi politik untuk menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama perjuangannya.


Tanggung Jawab Moral


Apakah tahun 2008 yang baru dimasuki ini akan menjadi tahun yang semakin berat bagi masyarakat warga, khususnya rakyat kecil? Ingat bahwa rakyat kecil sudah terlalu lama menderita dan karenanya sangat membutuhkan bantuan negara secepatnya. Negara tak boleh lagi terus-menerus menjaga citra pesona diri di ruang hampa tanpa pembumian perannya bagi kemaslahatan masyarakat warga.


Oleh karena itu, negara harus lebih serius memberikan perhatian yang tulus terhadap rakyat dan berjuang keras untuk mematrikan pesona dan kewibawaannya lewat mengikis berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat agar segera tercipta kesejahteraan rakyat sebagai perwujudan penjelmaan moralitas negara.


Menjelmakan moralitas negara oleh negara dengan implementasi menciptakan kesejahteraan rakyat selain sebagai perwujudan cita-cita pendirian negara, juga sebagai buah dari kesadaran akan tanggung jawab moral dalam melestarikan kontrak sosial dan mematrikan pesona dan keagungannya, sehingga keberadaan dan kehadiran negara menjadi kebanggaan masyarakat warga.


Perwujudan tanggung jawab moral negara harus dipandang sebagai salah satu keutamaan "engsel" (cardinal virtue) yang terkait dengan kebijaksanaan, keadilan, dan kehendak atau watak yang baik dari negara yang dapat mengeliminasi berbagai anasir perusak kontrak sosial serta melunturkan pesona dan keagungan negara.

Thomas Koten Penulis adalah Direktur Social Development Center

Kegagalan Politik Kesejahteraan

Mencuatnya kembali rencana pemerintah untuk menaikan tarif dasar listrik (TDL), sesungguhnya telah menebar pesimisme publik tentang tugas negara terhadap kesejahteraan warga atau rakyatnya. Bila rencana tersebut benar-benar terealisasi, sesungguhnya hal itu telah mengaburkan tanggung jawab moral negara terhadap rakyatnya. Rakyat, kini tak lagi berdaya akibat tingginya harga barang-barang menyusul naiknya harga BBM dan terpaan krisis berkepanjangan.

Negara yang semestinya bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, bermetamorfosis menjadi lembaga koersi-penekan yang jauh dari ekspektasi semula. Maksud dan tujuan awal pembentukan negara, sudah barang tentu tidak lepas dari hasrat kebahagiaan (Aristoteles 384-322 SM). Secara luas, hal itu ditafsirkan sebagai tanggung jawab negara atas kesejahteraan rakyat. Seluruh kebijakan yang lahir dari pengelolaan negara menjadi pengabdian terhadap rakyat, dan kesejahteraan serta kebahagiaan sebagai terminal akhir perjalanan.


Tentu sukar dipungkiri bila persoalan kesejahteraan rakyat dikategorikan dalam perkara mahaberat. Tetapi, ironisnya, tidak banyak aktor politik, kaum elite, dan negarawan kita yang mencurahkan perhatian khusus dan serius atas kesejahteraan itu. Perilaku tercela kian merebak di kalangan politisi. Saksikan, bagaimana lembaga parlemen kini berubah menjadi ground-breeding (lahan penyemaian) bagi praktik korupsi.

Parlemen telah berubah kelamin menjadi medan transaksi politik, yang berujung pada uang dan materi.Pesona parlemen --sebagai dewan terhormat-- bukan lagi terletak pada tugas mulianya sebaga pengemban amanat penderitaan rakyat dan perumus kebijakan negara, tetapi lebih pada kemudahan akses untuk menumpuk harta. Parlemen telah dijadikan jalan pintas bagi para politisi untuk mengubah kehidupan, sebab ia menjanjikan kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan. Sehingga, jalan menuju kursi parlemen pun kerap ditempuh dengan segala macam cara termasuk memalsukan ijazah.

Jadi, apa yang kita lihat, setelah lebih dari setengah abad merdeka, semua yang terjadi belum sanggup sebagai wahana yang memadai untuk mengejewantahkan definisi klasik Harold D Laswel (1958) mengenai politik: who gets what, when, how. Semua itu seolah mengabaikan fungsi dan peran negara sebagai wahana membangun masyarakat utama --ala Aristoteles. Yaitu sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma dan aturan, sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi semua.Kontrak yang terabaikan.


Dilihat dari perspektif philosophy of life, kesulitan likuiditas PLN, kesulitan BBM, dan merebaknya persoalan lain seperti busung lapar, pengangguran, korupsi, terorisme, dan lain-lain, sesungguhnya akibat dari kurang efektifnya negara dalam menjalankan perannya. Negara (pemerintah) sebagai penyelenggara tata kehidupan bersama, kurang kredible dalam mengelola pemerintahan, khususnya dalam menyelesaikan persoalan bangsa.


Dengan kata lain, negara sebagai unit politik yang menjadi pengorganisasian diri berbagai kemajemukan, telah gagal melakukan pengelolaan kesejahteraan.Kini, semuanya itu akhirnya telah melahirkan suatu realitas, yang secara nyata membedah kembali kualitas kontrak sosial antara negara dan masyarakat. Sebagaimana diaksiomakan dalam teori klasik kontrak sosial, rakyat di seluruh negeri saat berduyun-duyun menuju kotak suara pemilu, sesungguhnya telah mendelegasikan hak-hak politik mereka secara sukarela untuk dikelola negara.


Tujuan dari pendelegasian wewenang ini tidak lain untuk membangun ketertiban sosial kenegaraan demi menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat sendiri. Tatkala para pemimpin terpilih dan kaum elite pun ingin melibatkan diri dalam pengelolaan negara, maka mereka harus hormat dan tunduk pada kontrak sosial yang telah terbangun saat pemilu. Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas sebagai praksis ekspresif rasa hormat dan tunduk pada kontrak sosial itu.Tetapi, sayang, terkuaknya kembali berbagai kesulitan hidup masyarakat akibat naiknya harga BBM, dan kini juga bakal naiknya TDL, ketiadaan lapangan kerja, korupsi, sesungguhnya telah menjadi penistaan keji aparat negara oleh negara sendiri.


Semua fenomena memilukan itu merupakan tamparan keras terhadap pengelolaan negara yang memusnahkan kontrak sosial. Secara kasatmata, aparat negara tampak menonjol sebagai kekuatan yang menjerumuskan kebijakan pemerintah ke dalam dirigiste --meminjam istilah Anwari WMK-- atau ke dalam kondisi yang dipenuhi kebrengsekan.Musnahnya kontrak sosial dan dirigiste kebijakan yang disinggung itu, sebenarnya merupakan cermin besar kegagalan negara yang telah 'mencetuskan' persoalan besar krisis bangsa yang memblunder hingga kini.


Ini pula yang merupakan cermin kegagalan politik kesejahateraan yang coba dibangun selama ini. Rezim reformasi, seharusnya bisa menjadi momentum emas-historik untuk mengikis berbagai anasir perusak kontrak sosial antara negara dan masyarakat seluruhnya. Moralitas negaraBertolak dari uraian singkat tersebut, tidak ada jalan yang lebih manjur daripada perlunya sebuah paradigma baru yang secara eksplisit mengandalkan aspek moralitas. Moralitas negara adalah perilaku keberpihakan negara kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral yang dimilikinya. Negara tanpa moral adalah negara otoritarisme dan diktator.


Filosof Jean Jacques Rousseau mengistilakannya sebagai volonte generale untuk melokalisasi pihak-pihak yang dianggap masuk kriteria tanggung jawab negara saat memanifestasikan perlindungannya. Pada tataran itulah, segala macam kepincangan dalam tata ruang negara; kemiskinan kolektif, busung lapar, korupsi, monopoli lahan-lahan ekonomi, krisis BBM, dan sebagainya menjadi tanggung jawab moral negara untuk direkonstruksi. Di sinilah negara menjadi sandaran utama, yang harus secara aktif dan lebih tegas lagi menjalankan perannya bagi penyelenggaraan ekonomi berkaidah moralitas kolektif dan pro-aktif dalam mensejahterakan rakyatnya.


Pada takaran moral, bila negara telah sukses melaksanakan fungsinya, maka dapat dikatakan negara telah menjalankan tugasnya secara baik. Visi dan misinya untuk menjadikan kesejahteraan rakyat menjadi barometer keberhasilan pengelolaan peran, fungsi, dan tugasnya yang paling agung. Negara bukanlah sekadar organisasi yang memberi perlindungan dan keuntungan bagi sekelompok warga, melainkan harus mematrikan keberpihakannya kepada kepentingan umum seluruh warga Indonesia sebagai pelaksanaan prinsip-prinsip subsidiaritasnya.


Sesuai dengan prinsip-prinsip subsidiaritasnya, negara memiliki sikap proaktif untuk mengintervensi aktivitas masyarakat bila dianggap perlu demi menciptakan kesejahteraan rakyat tersebut. Di sini pula terletak peran-fungsional negara, di mana ia ada dan hadir sebagai dasar yang mewadahi dan menjadi payung yang mengayomi masyarakat dan bangsanya.


Sumber : Republika/Thomas Koten, Direktur Social Development Center

UU BHP : Menuju Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi kebijakan pendidikan (education policy). Itulah semangat UU Badan Hukum Pendidikan yang baru saja disetujui DPR. Keputusan itu amat paradoks. Sebab, selain menegasikan amanat konstitusi, juga mengingkari realitas kehidupan masyarakat saat ini. Keputusan DPR ini bukannya memberi angin segar, melainkan justru mengembus angin ?polusi? bagi publik.

“Lex specialis” BHP


Pengesahan UU BHP dengan sendirinya menggeser UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya, UU ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebab, UU BHP mengandung asas lex specialis yang bakal menjadi acuan bagi semua kegiatan pendidikan, mulai dari pengembangan infrastruktur, tata kelola, proses, kegiatan formal dan non-formal, kurikulum, hingga penyediaan semua komponen terkait.


Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.

Ini berarti globalisme-liberalisme telah merambah dunia pendidikan. Menurut Dale R dan Robertson SL, ? The varying Effects of Regional Organization as Subjects of Globalization on Education?, Comparative Education Review (2002), terjadinya liberalisasi pendidikan tidak terlepas dari pembentukan organisasi-organisasi regional, seperti EU, NAFTA, AFTA, GATT, PECC, dan APEC.


Kehadiran organisasi-organisasi ini berpengaruh besar pada kebijakan pendidikan, bahkan sampai urusan pelaksanaan kebijakan. Global(isme) juga telah berpengaruh terhadap perkembangan konsep desentralisasi atau otonomisasi pendidikan. Hal ini akan berdampak pada pengelolaan kurikulum di setiap jurusan atau program studi, (Astiz, M F Wiseman, dan Baker D P Slouching towards Decentralization: Consequences of Globalization for Curricular Control in National Education System, 2002).


Untuk mengikuti tren ini pemerintah mendorong proses liberalisasi atau privatisasi sistem pendidikan. Sasarannya agar sistem pendidikan dicanangkan secara demokratis, efisien, akuntabel, kompetetif, serta memberdayakan sumber daya para dosen, guru, orangtua, dan siswa atau mahasiswa dan pihak-pihak lain dalam membangun pendidikan.


Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan (sekolah dan universitas) serta ketersediaan anggaran untuk gaji guru atau dosen dengan berbasiskan kompetensi dan daya saing yang tinggi. Pada tahap ini pendidikan semakin dianggap sebagai investasi sehingga pemerintah menjadikannya sektor terbuka bagi penanaman modal dan komoditas.


Selamatkan pendidikan


Ada sejumlah dampak negatif atas hadirnya UU BHP. Pertama, sistem desentralisasi atau otonomi menyebabkan semua institusi pendidikan akan berlomba-lomba mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan membebani masyarakat. Kedua, terpolarisasinya antara siswa atau mahasiswa jalur khusus (ekstensien) yang relatif berduit dan jalur mahasiswa reguler yang kebanyakan tidak berduit sehingga nilai pengabdian guru atau dosen terkontaminasi dengan aspek materialisme semata. Jadi, nilai pengabdian hanya diukur dengan duit, selain itu adanya bentuk diskriminasi pelayanan pendidikan antara si kaya dan si miskin. Ketiga, otonomi perguruan tinggi tak terhindarkan sehingga fokus utamanya adalah otonomi pengelolaan keuangan. Maka, perguruan tinggi terus bersaing mencanangkan program-program yang relatif banyak mendatangkan uang.

Dengan pertimbangan finansial, perguruan tinggi telah berubah menjadi perusahaan yang melakukan kalkulasi perdagangan dengan mempertimbangkan untung-rugi. Maka, besar kemungkinan akan menutup jurusan atau program studi yang dianggap tidak menguntungkan.
Jadi, melalui UU BHP, universitas bisa dinyatakan pailit atau bangkrut. Proses pembisnisan pendidikan seperti ini amat meresahkan banyak kalangan, khususnya bagi orang miskin yang menginginkan anaknya menempuh pendidikan tinggi.


Seharusnya perguruan tinggi berposisi sebagai institusi yang mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang bersifat universal. Begitu pula dengan institusi pendidikan tingkat dasar dan menengah, selayaknya bisa membuka akses pendidikan bagi rakyat miskin.


Akses pendidikan


Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), sebanyak 33,9 juta anak Indonesia dilanggar hak pendidikannya, 11 juta anak usia 7-8 tahun buta huruf dan sama sekali belum pernah mengecap bangku sekolah serta sisanya putus sekolah. Bila dirinci lagi ada 4.370.492 anak putus sekolah dasar dan 18.296.332 anak putus sekolah menengah pertama.


Adapun 11 juta sisanya (lebih dari 30 persen) anak buta huruf karena tidak pernah bersekolah. Bahkan, hanya 70,85 persen masyarakat miskin di Indonesia mendapatkan akses pendidikan sampai pada jenjang pendidikan menengah saja, sementara kelompok kaya mencapai 94,58 persen (Susenas, 2004).


Dengan hadirnya UU BHP ini justru lebih besar risikonya ketimbang manfaatnya karena semakin lemahnya akses kaum miskin terhadap pendidikan. Sejauh ini pemerintah tidak memprioritaskan program dan anggaran wajib belajar sembilan tahun. Bahkan, pemerintah sendiri belum melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN dan APBD 2008 ini.


Pendek kata, pengesahan UU ini telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat di satu sisi. Sementara itu, di sisi lain amat bertentangan dengan konstitusi, juga mengingkari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Maka, sebaiknya sistem pendidikan nasional tetap mengacu konstitusi dan UU No 20 Tahun 2003 yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional yang demokratis, berkeadilan, manusiawi, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai kultural.


Sudah saatnya kita bersama-sama mematuhi amanat konstitusi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional demi terwujudnya pembangunan manusia Indonesia yang bermutu dan bermartabat.


Sumber: Kompas / Emile A Laggut Penulis Buku; Peneliti Bidang Hukum dan Masalah Sosial Politik

Kamis, Juni 25, 2009

KEADILAN SOSIAL

Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf terkagum-kagum sejak Plato membantah filsuf muda, Thrasymachus, karena ia menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat. Dalam Republik, Plato meresmikan alasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan), dan keadilan.
Penambahan kata sosial adalah untuk membedakan keadilan sosial dengan konsep keadilan dalam hukum.
Keadilan sosial juga merupakan salah satu butir dalam Pancasila.
Sumber : wikipedia

BPK: Laporan Keuangan Pemerintah Buruk

Badan Pemeriksa Keuangan kembali tidak menyatakan pendapat atau disclaimer atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2008. Dengan demikian, selama lima tahun berturut-turut, BPK telah memberikan opini disclaimer terhadap LKPP. Opini atas LKPP yang terus memburuk menggambarkan bahwa perbaikan sistem keuangan negara belum terjadi secara menyeluruh pada semua departemen/lembaga negara. Belum ada kesungguhan dan upaya yang mendasar, petunjuk maupun program terpadu dari pemerintah, ujar Ketua BPK Anwar Nasution, Selasa (8/6) di Nusantara II DPR RI, Jakarta. BPK menemukan sembilan pokok permasalahan berkaitan dengan pemberian opini disclaimer tersebut.



Pertama, belum adanya sinkronisasi UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dengan UU Perpajakan dan UU PNBP ataupun ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku. Kedua, masih adanya pungutan yang tidak memiliki dasar hukum dan dikelola di luar mekanisme APBN.


Ketiga, belum adanya keterpaduan antara Sistem Akuntansi Umum yang diselenggarakan oleh Departemen Keuangan dan Sistem Akuntasi Instansi yang diselenggarakan departemen/lembaga sehingga masih ada selisih di antara keduanya. Penerimaan perpajakan yang belum dapat direkonsiliasikan mencapai Rp 3,43 triliun, ujar Anwar. Keempat, rekening liar belum terintegrasi dan terekonsiliasi dalam suatu treasury single account. Kesalahan pembukuan masih terjadi, seperti kesalahan pembebanan pengakuan pendapatan PBB Migas dan Panas Bumi atas Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebesar Rp 5,33 triliun, ujarnya. Kelima, inventarisasi aset negara di berbagai instansi pemerintahan berjalan sangat lambat dan penilaiannya belum seragam. Keenam, belum ada program untuk menyatukan sistem teknologi informasi pemerintah.


Ketujuh, belum ada program yang mendasar untuk meningkatkan jumlah SDM pemerintah dalam bidang pembukuan dan akuntansi. Kedelapan, belum ada program mendasar untuk memberdayakan inspektur jenderal/satuan pengendalian intern dan bawasda dalam peningkatan mutu penyusunan laporan keuangan maupun pemberantasan korupsi. Terakhir, peranan BPJP tetap tidak jelas dalam pembangunan sistem akuntansi pemerintah maupun pemberdayaan pengawas internal pemerintah, ujar Anwar. Kemudian, BPK kembali menegaskan enam langkah untuk memperbaiki kelemahan pokok transparansi dan akuntabilitas pengelolaan negara. Pertama, perlunya penerapan treasury single account secara utuh dan menyeluruh. Kedua, perlunya penerapan anggaran berbasis kinerja. Ketiga, perlunya sistem aplikasi penyusunan laporan keuangan pemerintah yang terintegrasi dan andal. Keempat, perlunya kebijakan tentang pengadaan SDM di bidang akuntasi.


Kelima, perlunya quality assurance berupa penataan kembali fungsi pengawasan internal seperti BPKP, inspektorat jenderal/satuan pengendali intern, dan badan pengawasan daerah. Keenam, pembentukan panitia akuntabilitas publik agar dapat mendorong pemerintah menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dan memantau pelaksanaan APBN dan APBD secara keseluruhan. HIN



Sumber: Kompas.Com Selasa, 9 Juni 2009 11:50 WIB

Rabu, Juni 24, 2009

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.Penyebab kegagalanPada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.Strategi ke depanBerkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.Belum memadaiUkuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

Keadilan Kunci Penyelesaian Konflik

Media Indonesia Online Rabu, 24 Juni 2009 01:37 WIB 0 Komentar

JAKARTA--MI: Calon wakil presiden Prabowo Subianto mengatakan kunci utama untuk menyelesaikan konflik baik vertikal maupun horisontal adalah memberikan keadilan yang merata bagi warga negara Indonesia. "Sepanjang kita tidak bisa memberikan apa yang menjadi kebutuhan dasar rakyat secara adil dan merata, maka negara ini akan terus berada dalam ancaman konflik," katanya, dalam debat calon wakil presiden bertajuk "Membangun Jatidiri Bangsa" di Jakarta, Selasa (23/6). Prabowo menekankan, apapun falsafah dan ideologi yang dianut sepanjang kebutuhan dasar rakyat sebagai manusia tidak terpenuhi, maka konflik akan terus terjadi. "Rakyat harus benar-benar terpenuhi kebutuhan dasarnya, karena jika tidak akan muncul rasa frustrasi dan radikalisme. Untuk apa membangun negeri ini tanpa disertai pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang adil dan merata," kata pendamping bagi capres Megawati Soekarnoputri tersebut. Dalam sesi "Apakah Pancasila masih menjadi pemersatu bagi rakyat Indonesia itu" Prabowo mengemukakan, kesenjangan sosial yang terjadi saat ini merupakan bentuk kegagalan sistematis dari negara ini. "Terlebih, sistem ekonomi yang dijalani saat ini terbukti tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat. Seharusnya, ada keberanian untuk merubah strategi dan haluan agar bangsa ini tidak lagi terjebak dalam konflik sosial vertikal dan horisontal," katanya. (Ant/OL-06)

Suara Rakyat jangan Direkayasa

Media Indonesia Online Rabu, 24 Juni 2009 14:31 WIB

GRESIK--MI: Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto mengingatkan agar suara rakyat jangan direkayasa dalam Pemilu Presiden 8 Juli 2009. "Suara rakyat harus benar-benar didengar, jangan ada akal-akalan, rekayasa dan bermain curang," katanya dalam kampanye dialogis dengan warga, tokoh dan ulama se-Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Rabu (24/6). Ia mengungkapkan, berdasarkan pengalaman pada pemilu legislatif April silam, banyak nama fiktif yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap. "Yang sudah meninggal dunia dan masih balita, sudah tercantum dalam DPT. Ini kan tidak benar. Demokrasi menjadi sandiwara," kata Prabowo. Jika demokrasi hanya sandiwara, maka pemimpin yang terpilih melalui demokrasi tersebut adalah pemimpin yang tidak sah. "Jika kondisinya seperti itu, maka rakyat tidak akan percaya pada elitenya, tidak lagi percaya pada aturan perundangan yang katanya pro rakyat," tutur Prabowo. Manakala suara rakyat terus diinjak-injak, lanjut dia, maka akan terjadi perlawanan dari rakyat. "Sudah banyak contoh, jika suara rakyat terus-menerus diinjak, maka jangan sekali-kali merekayasa suara rakyat," katanya. Prabowo menegaskan, Pemilu boleh satu putaran asalkan itu benar-benar suara rakyat, suara pro rakyat. Pada kesempatan itu, calon wakil presiden dari calon presiden Megawati Soekarnoputri itu menegaskan, akan menghapuskan tenaga kerja kontrak (outsourcing) karena sangat bertentangan dengan prinsip keadilan rakyat. Prabowo menegaskan dirinya bersama kandidat presiden Megawati Soekarnoputri juga akan menghapuskan penjualan BUMN. "BUMN harus menjadi ujung tombak kebangkitan ekonomi nasional. Dan untuk itu, saya akan berjuang keras untuk menjadikan BUMN sebagai ujung tombak ekonomi nasional," katanya. (Ant/OL-06)

JATI DIRI BANGSA MERUPAKAN KONSEP YANG HIDUP DAN TERBUKA

June 23, 2009, 9:26 pm Berita Pemerintahan Klik: 71
Jakarta
, 23/6/2009 (Kominfo-Newsroom) - Kandidat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Boediono dalam paparan misi, visi dan program kerjanya berpandangan, untuk mewujudkan dan meningkatkan pemerintahan yang bersih harus memantapkan jati diri bangsa.
Jati diri bangsa, katanya, dibentuk oleh empat konsensus dasar, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, dan ia adalah konsep yang hidup dan terbuka terhadap perubahan zaman.
�Empat sumber ini yang membentuk sikap kita, dalam melihat, memandang diri kita sendiri, memandang bangsa lain dan memposisikan kita di hadapan Tuhan YME,� kata Boediono saat Debat Cawapres di Studio TV SCTV, di Senayan City, Jakarta, Selasa (23/6).
Ditambahkan, di era globalisasi, jati diri adalah konsep yang hidup dan terbuka terhadap perubahan zaman. �Konsensus dasar inilah pula yang menyatukan kebhinekaan kita,� ujarnya.
Membangun jati diri bangsa, disebutnya, tidak bisa dengan indoktrinasi, dengan represif, atau dengan kekerasan. �Ia harus dibangun dengan memperkuat rasa keadilan dalam memperkuat rasa kebanggaan rakyat dan meningkatkan rasa kesejahteraan rakyat yang makin merata,� jelasnya.
Jati diri bangsa Indonesia dikatakannya juga didukung oleh empat pilar, yakni kebudayaan nasional, politik nasional, ekonomi nasional dan hukum nasional.
Kebudayaan nasional menurutnya ada dua, yaitu mempertahankan dan mengembangkan aset yang sangat berharga dari bangsa yaitu bahasa Indonesia.
Kemudian aspek dalam bentuk kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.
Untuk bidang politik nasional disebutnya ada dua hal, yakni NKRI harus tetap utuh dan ini harga mati serta memperkuat demokrasi, sedangkan di bidang ekonomi nasional, nilai-nilai Pancasila harus diupayakan untuk masuk dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, k
emudian pembangunan infrastruktur yang dapat mempererat, memperkuat integrasi ke dalam ekonomi dan politik.
�Upaya itu diharapkan dapat memberikan rasa keadilan dan perlakuan kehidupan dan kesejahteraan yang lebih adil,� katanya.
Prabowo sedih
Sementara itu kandidat Cawapres Prabowo Subianto mengaku sedih karena melihat kenyataan saat ini masih ada 115 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan Rp20 ribu per hari.
Menurutnya, dirinya sedih karena setelah 64 tahun merdeka, rakyat Indonesia masih belum memiliki penghasilan yang belum memadai.
Menurut Prabowo, kalau bicara jati diri bangsa mau tidak mau harus berbicara tentang sejarah lahirnya bangsa itu sendiri.
Bangsa Indonesia, tambahnya, lahir sebagai bangsa yang mengalami perlawanan panjang melawan penjajahan.
�Rakyat Indonesia mengalami proses penindasan yang lama, proses di mana kekayaan kita diambil. Kita lahir sebagai bangsa majemuk, bermacam-macam ras, suku, agama, tetapi bersatu dalam satu cita-cita untuk meraih suatu kehidupan yang sejahtera,� katanya.
Dia juga mengingatkan bahwa cita-cita bangsa Indonesia pada Proklamasi 17 Agustus adalah ingin membangun masyarakat, negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(T.Az/ysoel).
Disunting dari web.Depkominfo

Selasa, Juni 23, 2009

Selamat Datang di blog DPP Mapancas

Pancasila Abadi..!!
Dalam rangka pengembangan sisten informasi organisasi Mapancas, maka tim Kesekjenen DPP Mahasiswa Pancasila (Mapancas) mempersembahkan blog ini sebagai media informasi bagi kader, alumni, pengurus dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Penerbitan blog ini juga bertujuan menyebarluaskan ide, gagasan dan pemikiran kader-kader Mapancas dalam rangka pelaksanaan visi dan misi organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Selanjutnya atas nama DPP Mapancas kami memohon kritik dan saran dari semua fihak untuk kemajuan pengelolaan organisasi dimasa mendatang..
Sekali layar terkembang surut kita berpantang !!!