Senin, Juni 29, 2009

Kegagalan Politik Kesejahteraan

Mencuatnya kembali rencana pemerintah untuk menaikan tarif dasar listrik (TDL), sesungguhnya telah menebar pesimisme publik tentang tugas negara terhadap kesejahteraan warga atau rakyatnya. Bila rencana tersebut benar-benar terealisasi, sesungguhnya hal itu telah mengaburkan tanggung jawab moral negara terhadap rakyatnya. Rakyat, kini tak lagi berdaya akibat tingginya harga barang-barang menyusul naiknya harga BBM dan terpaan krisis berkepanjangan.

Negara yang semestinya bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, bermetamorfosis menjadi lembaga koersi-penekan yang jauh dari ekspektasi semula. Maksud dan tujuan awal pembentukan negara, sudah barang tentu tidak lepas dari hasrat kebahagiaan (Aristoteles 384-322 SM). Secara luas, hal itu ditafsirkan sebagai tanggung jawab negara atas kesejahteraan rakyat. Seluruh kebijakan yang lahir dari pengelolaan negara menjadi pengabdian terhadap rakyat, dan kesejahteraan serta kebahagiaan sebagai terminal akhir perjalanan.


Tentu sukar dipungkiri bila persoalan kesejahteraan rakyat dikategorikan dalam perkara mahaberat. Tetapi, ironisnya, tidak banyak aktor politik, kaum elite, dan negarawan kita yang mencurahkan perhatian khusus dan serius atas kesejahteraan itu. Perilaku tercela kian merebak di kalangan politisi. Saksikan, bagaimana lembaga parlemen kini berubah menjadi ground-breeding (lahan penyemaian) bagi praktik korupsi.

Parlemen telah berubah kelamin menjadi medan transaksi politik, yang berujung pada uang dan materi.Pesona parlemen --sebagai dewan terhormat-- bukan lagi terletak pada tugas mulianya sebaga pengemban amanat penderitaan rakyat dan perumus kebijakan negara, tetapi lebih pada kemudahan akses untuk menumpuk harta. Parlemen telah dijadikan jalan pintas bagi para politisi untuk mengubah kehidupan, sebab ia menjanjikan kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan. Sehingga, jalan menuju kursi parlemen pun kerap ditempuh dengan segala macam cara termasuk memalsukan ijazah.

Jadi, apa yang kita lihat, setelah lebih dari setengah abad merdeka, semua yang terjadi belum sanggup sebagai wahana yang memadai untuk mengejewantahkan definisi klasik Harold D Laswel (1958) mengenai politik: who gets what, when, how. Semua itu seolah mengabaikan fungsi dan peran negara sebagai wahana membangun masyarakat utama --ala Aristoteles. Yaitu sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma dan aturan, sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi semua.Kontrak yang terabaikan.


Dilihat dari perspektif philosophy of life, kesulitan likuiditas PLN, kesulitan BBM, dan merebaknya persoalan lain seperti busung lapar, pengangguran, korupsi, terorisme, dan lain-lain, sesungguhnya akibat dari kurang efektifnya negara dalam menjalankan perannya. Negara (pemerintah) sebagai penyelenggara tata kehidupan bersama, kurang kredible dalam mengelola pemerintahan, khususnya dalam menyelesaikan persoalan bangsa.


Dengan kata lain, negara sebagai unit politik yang menjadi pengorganisasian diri berbagai kemajemukan, telah gagal melakukan pengelolaan kesejahteraan.Kini, semuanya itu akhirnya telah melahirkan suatu realitas, yang secara nyata membedah kembali kualitas kontrak sosial antara negara dan masyarakat. Sebagaimana diaksiomakan dalam teori klasik kontrak sosial, rakyat di seluruh negeri saat berduyun-duyun menuju kotak suara pemilu, sesungguhnya telah mendelegasikan hak-hak politik mereka secara sukarela untuk dikelola negara.


Tujuan dari pendelegasian wewenang ini tidak lain untuk membangun ketertiban sosial kenegaraan demi menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat sendiri. Tatkala para pemimpin terpilih dan kaum elite pun ingin melibatkan diri dalam pengelolaan negara, maka mereka harus hormat dan tunduk pada kontrak sosial yang telah terbangun saat pemilu. Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas sebagai praksis ekspresif rasa hormat dan tunduk pada kontrak sosial itu.Tetapi, sayang, terkuaknya kembali berbagai kesulitan hidup masyarakat akibat naiknya harga BBM, dan kini juga bakal naiknya TDL, ketiadaan lapangan kerja, korupsi, sesungguhnya telah menjadi penistaan keji aparat negara oleh negara sendiri.


Semua fenomena memilukan itu merupakan tamparan keras terhadap pengelolaan negara yang memusnahkan kontrak sosial. Secara kasatmata, aparat negara tampak menonjol sebagai kekuatan yang menjerumuskan kebijakan pemerintah ke dalam dirigiste --meminjam istilah Anwari WMK-- atau ke dalam kondisi yang dipenuhi kebrengsekan.Musnahnya kontrak sosial dan dirigiste kebijakan yang disinggung itu, sebenarnya merupakan cermin besar kegagalan negara yang telah 'mencetuskan' persoalan besar krisis bangsa yang memblunder hingga kini.


Ini pula yang merupakan cermin kegagalan politik kesejahateraan yang coba dibangun selama ini. Rezim reformasi, seharusnya bisa menjadi momentum emas-historik untuk mengikis berbagai anasir perusak kontrak sosial antara negara dan masyarakat seluruhnya. Moralitas negaraBertolak dari uraian singkat tersebut, tidak ada jalan yang lebih manjur daripada perlunya sebuah paradigma baru yang secara eksplisit mengandalkan aspek moralitas. Moralitas negara adalah perilaku keberpihakan negara kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral yang dimilikinya. Negara tanpa moral adalah negara otoritarisme dan diktator.


Filosof Jean Jacques Rousseau mengistilakannya sebagai volonte generale untuk melokalisasi pihak-pihak yang dianggap masuk kriteria tanggung jawab negara saat memanifestasikan perlindungannya. Pada tataran itulah, segala macam kepincangan dalam tata ruang negara; kemiskinan kolektif, busung lapar, korupsi, monopoli lahan-lahan ekonomi, krisis BBM, dan sebagainya menjadi tanggung jawab moral negara untuk direkonstruksi. Di sinilah negara menjadi sandaran utama, yang harus secara aktif dan lebih tegas lagi menjalankan perannya bagi penyelenggaraan ekonomi berkaidah moralitas kolektif dan pro-aktif dalam mensejahterakan rakyatnya.


Pada takaran moral, bila negara telah sukses melaksanakan fungsinya, maka dapat dikatakan negara telah menjalankan tugasnya secara baik. Visi dan misinya untuk menjadikan kesejahteraan rakyat menjadi barometer keberhasilan pengelolaan peran, fungsi, dan tugasnya yang paling agung. Negara bukanlah sekadar organisasi yang memberi perlindungan dan keuntungan bagi sekelompok warga, melainkan harus mematrikan keberpihakannya kepada kepentingan umum seluruh warga Indonesia sebagai pelaksanaan prinsip-prinsip subsidiaritasnya.


Sesuai dengan prinsip-prinsip subsidiaritasnya, negara memiliki sikap proaktif untuk mengintervensi aktivitas masyarakat bila dianggap perlu demi menciptakan kesejahteraan rakyat tersebut. Di sini pula terletak peran-fungsional negara, di mana ia ada dan hadir sebagai dasar yang mewadahi dan menjadi payung yang mengayomi masyarakat dan bangsanya.


Sumber : Republika/Thomas Koten, Direktur Social Development Center

Tidak ada komentar:

Posting Komentar