Senin, Juni 29, 2009

UU BHP : Menuju Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi kebijakan pendidikan (education policy). Itulah semangat UU Badan Hukum Pendidikan yang baru saja disetujui DPR. Keputusan itu amat paradoks. Sebab, selain menegasikan amanat konstitusi, juga mengingkari realitas kehidupan masyarakat saat ini. Keputusan DPR ini bukannya memberi angin segar, melainkan justru mengembus angin ?polusi? bagi publik.

“Lex specialis” BHP


Pengesahan UU BHP dengan sendirinya menggeser UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya, UU ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebab, UU BHP mengandung asas lex specialis yang bakal menjadi acuan bagi semua kegiatan pendidikan, mulai dari pengembangan infrastruktur, tata kelola, proses, kegiatan formal dan non-formal, kurikulum, hingga penyediaan semua komponen terkait.


Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.

Ini berarti globalisme-liberalisme telah merambah dunia pendidikan. Menurut Dale R dan Robertson SL, ? The varying Effects of Regional Organization as Subjects of Globalization on Education?, Comparative Education Review (2002), terjadinya liberalisasi pendidikan tidak terlepas dari pembentukan organisasi-organisasi regional, seperti EU, NAFTA, AFTA, GATT, PECC, dan APEC.


Kehadiran organisasi-organisasi ini berpengaruh besar pada kebijakan pendidikan, bahkan sampai urusan pelaksanaan kebijakan. Global(isme) juga telah berpengaruh terhadap perkembangan konsep desentralisasi atau otonomisasi pendidikan. Hal ini akan berdampak pada pengelolaan kurikulum di setiap jurusan atau program studi, (Astiz, M F Wiseman, dan Baker D P Slouching towards Decentralization: Consequences of Globalization for Curricular Control in National Education System, 2002).


Untuk mengikuti tren ini pemerintah mendorong proses liberalisasi atau privatisasi sistem pendidikan. Sasarannya agar sistem pendidikan dicanangkan secara demokratis, efisien, akuntabel, kompetetif, serta memberdayakan sumber daya para dosen, guru, orangtua, dan siswa atau mahasiswa dan pihak-pihak lain dalam membangun pendidikan.


Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan (sekolah dan universitas) serta ketersediaan anggaran untuk gaji guru atau dosen dengan berbasiskan kompetensi dan daya saing yang tinggi. Pada tahap ini pendidikan semakin dianggap sebagai investasi sehingga pemerintah menjadikannya sektor terbuka bagi penanaman modal dan komoditas.


Selamatkan pendidikan


Ada sejumlah dampak negatif atas hadirnya UU BHP. Pertama, sistem desentralisasi atau otonomi menyebabkan semua institusi pendidikan akan berlomba-lomba mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan membebani masyarakat. Kedua, terpolarisasinya antara siswa atau mahasiswa jalur khusus (ekstensien) yang relatif berduit dan jalur mahasiswa reguler yang kebanyakan tidak berduit sehingga nilai pengabdian guru atau dosen terkontaminasi dengan aspek materialisme semata. Jadi, nilai pengabdian hanya diukur dengan duit, selain itu adanya bentuk diskriminasi pelayanan pendidikan antara si kaya dan si miskin. Ketiga, otonomi perguruan tinggi tak terhindarkan sehingga fokus utamanya adalah otonomi pengelolaan keuangan. Maka, perguruan tinggi terus bersaing mencanangkan program-program yang relatif banyak mendatangkan uang.

Dengan pertimbangan finansial, perguruan tinggi telah berubah menjadi perusahaan yang melakukan kalkulasi perdagangan dengan mempertimbangkan untung-rugi. Maka, besar kemungkinan akan menutup jurusan atau program studi yang dianggap tidak menguntungkan.
Jadi, melalui UU BHP, universitas bisa dinyatakan pailit atau bangkrut. Proses pembisnisan pendidikan seperti ini amat meresahkan banyak kalangan, khususnya bagi orang miskin yang menginginkan anaknya menempuh pendidikan tinggi.


Seharusnya perguruan tinggi berposisi sebagai institusi yang mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang bersifat universal. Begitu pula dengan institusi pendidikan tingkat dasar dan menengah, selayaknya bisa membuka akses pendidikan bagi rakyat miskin.


Akses pendidikan


Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), sebanyak 33,9 juta anak Indonesia dilanggar hak pendidikannya, 11 juta anak usia 7-8 tahun buta huruf dan sama sekali belum pernah mengecap bangku sekolah serta sisanya putus sekolah. Bila dirinci lagi ada 4.370.492 anak putus sekolah dasar dan 18.296.332 anak putus sekolah menengah pertama.


Adapun 11 juta sisanya (lebih dari 30 persen) anak buta huruf karena tidak pernah bersekolah. Bahkan, hanya 70,85 persen masyarakat miskin di Indonesia mendapatkan akses pendidikan sampai pada jenjang pendidikan menengah saja, sementara kelompok kaya mencapai 94,58 persen (Susenas, 2004).


Dengan hadirnya UU BHP ini justru lebih besar risikonya ketimbang manfaatnya karena semakin lemahnya akses kaum miskin terhadap pendidikan. Sejauh ini pemerintah tidak memprioritaskan program dan anggaran wajib belajar sembilan tahun. Bahkan, pemerintah sendiri belum melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN dan APBD 2008 ini.


Pendek kata, pengesahan UU ini telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat di satu sisi. Sementara itu, di sisi lain amat bertentangan dengan konstitusi, juga mengingkari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Maka, sebaiknya sistem pendidikan nasional tetap mengacu konstitusi dan UU No 20 Tahun 2003 yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional yang demokratis, berkeadilan, manusiawi, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai kultural.


Sudah saatnya kita bersama-sama mematuhi amanat konstitusi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional demi terwujudnya pembangunan manusia Indonesia yang bermutu dan bermartabat.


Sumber: Kompas / Emile A Laggut Penulis Buku; Peneliti Bidang Hukum dan Masalah Sosial Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar