Sabtu, Juli 11, 2009

Demokrasi Elegan Berbasis Oposisi

Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru sampai era Reformasi, sikap warga mengkritisi kebijakan dan tindakan pemerintah sangat beragam. Salah satu sikap itu dikenal dengan sebutan oposisi. Biasanya, oposisi memang menggambarkan "perlawanan" dari orang-orang dalam posisi diperintah terhadap mereka yang menduduki posisi memerintah. Pengertian ini dapat dipahami, karena oposisi berkaitan dengan upaya mengawasi roda kekuasaan negara, ataupun tertuju ke partai yang berkuasa atau partai yang memenangkan pemilu sebelumnya.

Oposisi merupakan satu sikap dari berbagai pemikiran relatif mapan, punya landasan sistem, bersikap holistik, dan ditandai oleh ciri integrasi antarsejumlah bagian dalam sistem itu (integrasi subsistem). Itu sebabnya, mengapa pemahaman tentang oposisi tidak boleh menggunakan "kacamata kuda". Sebab, oposisi biasanya dilandasi oleh tuntutan akan kemerdekaan atau kebebasan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri, baik disertai maupun tidak disertai nafsu politik subjektif, berhadapan dengan kepentingan pihak lain.


Sebagai contoh, perasaan tidak bersedia dipimpin oleh pihak atau kelompok sendiri, mengakibatkan terjadinya politicing atas kepentingan politik atau nonpolitik pihak-pihak yang memerintah. Contoh sederhana, pihak tertentu yang kalah dalam pesta demokrasi (pemilu legislatif, pemilihan presiden, pilkada) biasanya akan bersikap menentang pemenang. Ini disebabkan kepentingan kritis mereka (kalah dalam pesta demokrasi) mendorong tumbuh dan berkembangnya kultur politik antidemokrasi.


Namun sebaliknya, yang muncul adalah kultur oposisi. Itu sebabnya mengapa oposisi cenderung bersifat bertentangan terhadap demokrasi, jika oposisi bersifat berlebihan. Pada era reformasi sekarang, kinerja sistem oposisi yang bertentangan dengan semangat demokrasi dibentuk oleh kepentingan mengawasi kekuasaan dari pihak-pihak yang berkuasa, seolah tanpa batas, namun kemudian mendahulukan praktik perlawanan. Dengan demikian, akuntabilitas oposisi yang sebenarnya justru merupakan elemen demokrasi menjadi kehilangan nilai luhur.


Watak Demokrasi


Bagi kita di Indonesia, konsep oposisi yang dibentuk oleh tekad melawan pemerintah atau partai yang memenangkan pemilu, atau tertuju pada kekuatan lain di balik pemegang kekuasaan formal, pada gilirannya akan merusak tujuan demokrasi. Terutama pada saat oposisi diberlakukan dengan cara-cara kekerasan. Kandidat yang kalah dalam pemilu mengambil tindakan masif, melalui pengerahan massa dengan cara merusak objek-objek vital milik pemenang pemilu. Kultur oposisi di Indonesia sebetulnya sudah terbentuk lama. Terutama ketika mayoritas masyarakat memandang sikap-sikap feodal sudah bukan zamannya lagi untuk dipertahankan.


Kalau pada masa lalu orang-orang yang berada di kelas atas (sistem kerajaan atau sistem republik) seolah-olah tabu dikritik, namun sejak beberapa waktu lalu, "orang kecil" (wong cilik) memiliki keberanian menyampaikan daya kritis pribadi kepada pemerintah atau kepada keluarga/keturunan raja. Sebaliknya, demokrasi yang merupakan salah satu ciri dari hak asasi manusia (HAM), dapat menerima sikap oposisi, sejauh sikap oposisi tidak disertai tindakan anarki. Sebagaimana halnya demokrasi, oposisi dapat mengatasnamakan rakyat, orang kecil, atau demi hak mayoritas. Namun, oposisi tidak boleh bersikap kontradiktif terhadap fatsun oposisi itu sendiri.


Baik oposisi maupun demokrasi perlu sama-sama mengenal rambu/pembatasan. Sebab, oposisi tanpa rambu dapat mengakibatkan para pendukungnya bersikap dan bertindak brutal (anarki), terutama yang bertujuan menjatuhkan lawan. Sementara demokrasi tanpa fatsun, dapat pula membuka jalan untuk bersikap berlebihan dalam berdemokrasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan democrazy. Ini bertentangan dengan ajaran leluhur demokrasi, seperti Socrates dan Aristoteles. Demokrasi tanpa fatsun juga dapat merusak terjaminnya kebebasan manusia untuk memperoleh dan atau memperjuangkan hak asasinya (HAM). Oleh karena itu, sangat logis jika watak demokrasi dapat menuntun semua pihak yang berupaya membangun demokrasi di negeri ini untuk senantiasa melandasi sikap dan perilaku demokrasinya berbasis apresiasi setinggi-tingginya terhadap tegaknya HAM.


Kesejahteraan Rakyat


Demokrasi berbasis HAM, diharapkan mampu menjabarkan secara detail penerapan demokrasi di lapangan. Salah satu di antaranya berbentuk sikap pendukung demokrasi untuk mewarnai praktik politik di balik demokrasi itu sendiri, dengan cara-cara yang bermoral, tanpa intrik, tidak meng halalkan cara, dan tidak menjadikan demokrasi sebagai tujuan, tetapi alat mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan rakyat. Pengakuan HAM sebagai basis demokrasi mutlak diperlukan dalam negara demokrasi. Sebab, basis HAM ini diharapkan dapat memacu tumbuh dan berkembangnya kultur politik yang berwatak kemanusiaan.


Di samping itu, akan mendorong tumbuh dan berkembang upaya memperkuat jamin an penggunaan kemerdekaan/kebebasan menyatakan pemikiran, perasaan serta hak berserikat yang melekat dengan keberadaan manusia. Dengan demikian, ketika orang berbicara tentang demokrasi, ia akan berbicara soal HAM. Sebaliknya, pada saat orang memperbincangkan kepentingan HAM, orang itu akan mengutamakan cara-cara demokrasi, tanpa menutup akses kultur oposisi yang mengenal rambu pembatas. Ini berarti, HAM dapat memberikan toleransi bagi tegaknya oposisi, sejauh tidak memberikan akses terhadap terjadinya anarki. ***


Oleh : Dr. Januari Siregar, SH, M.Hum
Penulis adalah: Alumni Doktor Hukum USU Medan/ Advocat di Kota Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar