Jumat, Juli 10, 2009

Tak Ada Hubungan Keadilan Rakyat dengan Donor Asing

Dana dari lembaga donor asing yang masuk ke Indonesia dinilai tidak memiliki korelasi dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Dana-dana itu tidak mendorong keadilan dan kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia.Demikian diungkapkan oleh pengamat ekonomi-politik Yanuar Rizky saat berbincang dengan Primair Online di Jakarta, Selasa (5/5). "Yang tahu persoalan kita, ya kita sendiri sebetulnya.

Bukan lembaga-lembaga tersebut."Data yang ditelusuri oleh Primair Online menunjukkan, dalam kaitannya dengan sektor akses keadilan untuk orang miskin, setidaknya ada dua lembaga yaitu Bank Dunia dan United Nation Development Program (UNDP) yang aktif mengucurkan dana. UNDP dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan sebuah proyek besar yang diberi nama LEAD initiative (Legal Empowerment and Assistance for the Disadvantaged Project), yang nilainya US$ 1,6 juta.
Ada lima tema yang diusung dalam proyek itu: Keadilan dan Gender; Keadilan dan Sumber Daya Alam; Keadilan dan Pelayanan Hukum (Justice and Legal Services); Keadilan dan Pemerintahan Lokal; Reformasi Sektor Peradilan. Bank Dunia masuk ke Indonesia dengan slogan justice for the poor. Tema-tema yang diusung antara lain, otonomi peradilan desa; studi pemetaan pembaruan hukum; revitalisasi bantuan hukum; proyek peraturan daerah online; pemberdayaan hukum bagi perempuan, serta; pengembangan keparalegalan di Indonesia.
Saat ini, Bank Dunia juga tengah mengembangkan megaproyek senilai jutaan dolar di bawah bendera Village Judicial Autonomy (VJA) dengan sebuah penelitian yang dilakukan bekerjasama dengan Mahkamah Agung (MA). Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan proses penyelesaian sengketa di tingkat lokal dengn fokus pengalaman anggota kelompok masyarakat miskin, perempuan, minoritas etnik dan agama serta anak-anak di lima provinsi yakni Nusa Tenggara Barat, Maluku, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Kalimantan Tengah.
Menurut Yanuar, seperti pada umumnya pola-pola yang dikembangkan oleh donor asing di Indonesia, pengembangan proyek-proyek semacam itu tidak memiliki fokus jelas, apakah antikemiskinan atau antipemiskinan."Kalau antikemiskinan artinya peduli orang miskin. Charity. Kalau antipemiskinan, ya berarti anti membuat orang menjadi miskin," kata Yanuar.
Menurut Yanuar, antipemiskinan harus memiliki korelasi dengan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan umum, sesuai dengan amanat UUD 1945. "Yang terjadi saat ini, kita dipaksa untuk membeli satu paket mulai dari programnya, pengawasnya, konsultannya. Tidak seperti software yang opensource ketika kita diberikan cangkang dan mengembangkannya sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dampaknya, dana-dana itu hanya memakmurkan segelintir orang," katanya.
Ia menambahkan masuknya dana-dana dari donor asing itu merupakan bagian dari skema ekonomi nasional yang dikembangkan oleh pemerintah yang filosofinya adalah hidup dari utang ke utang."Taruhlah itu pinjaman dengan bunga nol persen. Tetap saja, ketika dana itu dikelola di Indonesia yang menggunakan mata uang rupiah, mereka tetap mendapatkan keuntungan bunga dari selisih kurs. Karena kita tak bisa mengendalikan," jelasnya.

Kiprah lembaga asing memang tengah ramai bulan ini. Pada 1-5 Mei 2009 digelar pula pertemuan gubernur Asian Development Bank (ADB) di Bali. Salah satu hasilnya, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Export-Import Bank of China (EIBC) menandatangani persetujuan US$ 3 miliar untuk membiayai proyek- proyek di negara-negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia. (aka)


Sumber: http://www.primaironline.com/Nadya Kharima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar