Jumat, Juli 31, 2009

JALAN PANJANG MEMAKNAI KEMERDEKAAN

Detik-detik hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh setiap tanggal 17 Agustus usai sudah kita peringati. Inilah klimak perjuangan bangsa ini setelah puluhan tahun hidup dalam penjajahan. Di hari itulah bangsa ini secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya. Kini, Genap 64 tahun sudah bangsa Indonesia merdeka. Euforia kebanggaan dan kemeriahan dalam memperingati hari bersejarah diwujudkan dengan pelbagai macam kegiatan yang secara serentak diadakan di seantero pelosok negeri.


Yang lebih dramatik lagi, ketika kita melakukan upacara pengibaran bendera sangsaka merah putih, dengan menyanyikan lagu berjudul “Hari Merdeka” gubahan H. Mutahar maka yang hadir dalam hati sanubari kita adalah rasa bangga dan semangat berkobar-kobar dalam rangka mensyukuri dan mengisi kemerdekaan. Lagu ini benar benar menjadi inspirator seluruh anak bangsa Indonesia tanpa mengenal batasan usia, ras, suku, ataupun agama apapun. Namun, jika kita telisik lebih dalam, ada suatu esensi yang hilang dari semangat rakyat Indonesia yang menyanyikan lagu tersebut. Bagian yang hilang itu adalah memaknai kemerdekaan itu sendiri.

Realitasnya sampai detik ini masih banyak masyarakat di pelosok negeri yang belum bisa utuh menikmati makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemiskinan terus meningkat, pengangguran merajalela, konflik kekerasan tak pernah nihil, krisis ekonomi, politik, dan sosial budaya terus mendera bangsa ini. Sampai kapan bangsa ini dapat mencapai tujuan kemerdekaan itu sendiri, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur? Bagaimana sesungguhnya kemerdekaan yang hakiki itu?

Makna Kemerdekaan

Kemerdekaan secara harfiah bermakna kebebasan atau lepas dari ikatan dan kungkungan. Dalam Bahasa Inggris, kemerdekaan identik dengan kata liberty, freedom atau right. Freedom adalah term mengenai kebebasan atau kemerdekaan. Liberty biasanya mengacu kepada kemerdekaan sosial dan politik. Right lazimnya identik dengan garansi-garansi kemerdekaan hak-hak legal spesifik. Ketiga kata tersebut seringkali dipakai mengacu kepada kemampuan orang untuk berbuat tanpa pembatasan-pembatasan (the ability to act without restrictions).

Dalam Wikipedia Indonesia, merdeka diartikan dengan pencapaian hak kendali penuh atas seluruh wilayah bagian negaranya atau saat di mana seseorang mendapatkan hak untuk mengendalikan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain dan atau tidak bergantung pada orang lain lagi. Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka dimaknai sebagai bebas dari penghambaan, penjajahan dan lain-lain, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Seluruh pemaknaan kata kemerdekaan mengacu secara penuh kepada kekebasan dan kekuatan untuk berdiri sendiri dan sama sekali tidak bergantung kepada siapapun dengan alasan dan dalih apapun. Disinilah kemandirian sebagai manifestasi kemerdekaan terhujam kuat melandasi setiap derap langkah bangsa ini.

Kemerdekaan Artifisial

Melihat realitas bangsa dan rakyat saat ini, sulit rasanya mengklaim bahwa kita sudah merdeka secara seutuhnya. Secara de yure bangsa kita memang sudah merdeka, yakni dalam konteks terbebas dari penjajahan. Namun secara de facto, yaitu kemerdekaan yang hakiki masih sangat jauh dari harapan. Kemiskinan merajalela, ketergantungan akan hutang luar negri masih tinggi, kebebasan berbeda pendapat masih tabu, kekerasan atas nama klaim kebenaran sepihak masih marak dan masih menyelimuti bangsa ini. Belum lagi berbagai bentuk penindasan, teror, intimidasi, insinuasi, agitasi, provokasi, pengerahan massa dan aksi-aksi yang sejenisnya yang beraroma kekerasan baik dengan cara halus maupun cara kasar adalah beberapa bentuk tindakan anarkis dan tiranik yang menelikung kemerdekaan.

Kemerdekaan yang kita miliki adalah sebatas kemerdekaan artifisial, namun jauh dari kemerdekaan factual. Menurut penulis, merdeka adalah bebas dan lepas dari segala macam bentuk penjajahan. Penjajahan tersebut bisa berupa penjajahan fisik, pemikiran, ekonomi, sampai politik. Jika ada pertanyaan, apakah Indonesia sudah merdeka? Maka dengan keyakinan tinggi penulis akan menjawab belum. Alasannya adalah karena ternyata Indonesia belum bisa terlepas dan terbebas dari segala bentuk penjajahan diatas.

Kemerdekaan VS krisis multi dimensi
Sejujurnya harus kita akui bahwa selama rentang waktu 64 tahun, ternyata kita belum mampu berbuat lebih banyak lagi untuk masyarakat. Bukannya kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran yang kita raih tapi krisis, kegagalan, dan keputus-asaan yang senantiasa melingkupi prestasi bangsa ini. Korupsi merajalela, konflik kekerasan jadi pilihan utama dalam mengatasi beragam persoalan, kemunafikan dan keangkuhan menjadi sifat buruk yang populer, dan sejumlah prestasi gagal lainnya.

Di bidang ekonomi misalnya kita masih terbelenggu oleh jeratan hutang luar negeri kita yang sangat tinggi. Kehadirannya bukan membawa solusi tapi membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Alih-alih memberikan solusi, yang ada justeru mempercepat waktu kematian bagi perekonomian Indonesia. Maka tepatlah pernyataan Tan Malaka bahwa ”Negara yang hidup meminjam pasti menjadi hamba peminjam” (Uraian mendadak, Yogyakarta, 7 november 1948). Kini, kita adalah hamba peminjam yang serba terkekang oleh kepentingan negara-negara donor. Tak ada lagi kekebasan yang kita miliki, yang ada hanya tunduk kepada kekuasaan. Jika Tan Malaka masih hidup maka beliau pasti sangat terpukul dan sedih karena kita benar-benar tidak berdaya. Kita bisa ingat ucapan lantangnya pada pidato di rapat pertama Persatuan Perjuangan ke-1, di Purwokerto tahun 1922 bahwa ” seharusnya kita tak akan berunding dengan maling di rumahnya”.

Sementara di bidang pertahanan dan keamanan, kedaulatan negara masih sering diinjak-injak oleh arogansi negara lain, sementara kita tak mampu berbuat apa-apa. Karena kita memang tak bisa apa-apa. Ketika pesawat dan kapal asing masuk wilayah teritorial kita, kita hanya bisa menggerutu kesal karena kita tak akan mampu mengejarnya.

Penjajahan jenis lain yang terjadi di Indonesia adalah penjajahan sosial politik. Bentuk penjajahannya dapat terlihat dari peran serta bangsa Indonesia dalam percaturan politik dunia. Indonesia sebagai negara berkembang masih dianggap sebagai anak tiri yang tidak terlalu signifikan keberadaannya di dunia. Wibawa bangsa ini seakan mulai pudar, sehingga tak mampu berdiri sama tegak, apalagi berdiplomasi atas nama kesetaraan. Belum lagi dibidang budaya, dimana banyak budaya hasil karya cipta kita yang diklaim atau dibajak negara lain.

Melihat kondisi diatas, refleksi diri mutlak dilakukan. Apakah kita menjadi bagian yang membuat Indonesia semakin terpuruk. Atau bahkan menjadi bagian yang merusak negeri ini. Sekaranglah tugas kita untuk bersama-sama memperbaiki kondisi Indonesia yang sudah kronis ini.

Uraian ini diungkap, sama sekali tidak bermaksud menafikan prestasi bagus yang telah diraih bangsa ini dalam berbagai hal dan bidang. Namun untuk memberikan early warning bagi seluruh stakeholder bangsa agar dapat meraih prestasi maksimal demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 1945.

Sudah saatnya kita mulai berfikir lebih jernih menyusun langkah-langkah strategis dalam rangka memperkuat jati diri bangsa yang jauh dari aspek penjajahan. Kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan bernegara haruslah menjadi pondasi dasar setiap detik langkah kita. Kemandirian adalah muara utama menuju kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya.

Kita harus ingat bagaimana dahulu para pejuang-pejuang mengangkat senjata demi sebuah kemerdekaan. Keperkasaan Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Diponegoro, Panglima sudirman, dan Tan Malaka melawan Penjajah patut diteladani. Mereka rela memberikan seluruh darma baktinya lahir dan batin demi menegakkan wibawa bangsa yang bermartabat. Mereka benar-benar memiliki integritas dan daya juang yang tak pernah padam.

Untuk bisa maju dan menatap masa depan yang lebih cerah, bangsa ini harus djauhkan dari orang-orang yang tak memiliki integritas nasional dan semangat juang ’45 karena perjuangan mengisi kemerdekaan dipastikan akan menemui jalan terjal. Kita butuh pejuang-pejuang muda yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi maupun kelompok semata, bukan orang-orang yang memiliki cap ”pengkhianat” bangsa dengan mengadai bahkan menjual kehormatan dan kewibawaan bangsa. Negara ini harus dijauhkan dari para pengkhianat utama seperti para koruptor yang senantiasa menari-nari bahagia diatas penderitaan masyarakat yang semakin parah.

Jalan panjang menuju kemerdekaan hakiki memang masih panjang. Apalagi tantangan masa depan siap menghadang setiap derap langkah kita. Mari bulatkan tekad, rapikan barisan, kuatkan persatuan, samakan persepsi perjuangan menatap indonesia yang lebih baik, adil, makmur, dan bermartabat. Tak ada kata lain selain ”bangkit dan bangkit” membangun negeri ini menuju indonesia yang terbebas dari segala bentuk penjajahan. Merdeka!!
Oleh: Sholehudin A. Aziz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar