Selasa, Juli 14, 2009

Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat


Dari pandangan ekonomi makro, kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan jika tingkat inflasi tinggi. Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat mengalami penurunan karena kenaikan harga-harga. Komponen inflasi terbesar terbesar adalah bahan pangan. Keniakan bahan pangan sangat memukul bagi masyarakat berpendapatan rendah. Inflasi yang tinggi juga berkaitan langsung dengan tingkat kemiskinan. Karena sejumlah besar penduduk berada pada batas garis kemiskinan maka peningkatan inflasi semakin menurun kemampuan masyarakat mencukupi kebutuhan pangan, menyebabkan semakin banyak penduduk yang ajtuh di bawah garis kemiskinan.

Pada masa krisis 1998, inflasi mencapai sekitar 70% yang sangat memberatkan masyarakat kebanyakan. Tingkat kemiskinan juga meningkat tajam mencapai sekitar 28%. Dengan menurunya inflasi, tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan. Sejak masa krisis baru pada tahun 2005 inflasi mencapai tingkat yang lebih tinggi 17,11% terutama dipicu oleh kenaikan harga-harga sebagai akibat kenaikan harga BBM. Perkembangan ini tentu saja sangat memberatkan kehidupan masyarakat. Apalagi tingkat pengangguran tergolong tinggi 10,8%, sampai dengan bulan Januari 2006 inflasi masih tinggi karena kenaikan harga beras.

Tingginya inflasi dan tingkat pengangguran menunjukan tingginya tingkat kesengsaraan rakyat. Indeks Kesengsaraan Rakyat (Misery Index) yang diperkenalkan oleh Michael Okun, penasehat ekonomi Presiden Kennedy, mengukur tingkat kesengsaraan dengan menambahkan tingkat inflasi kepada tingkat pengangguran, dengan kesengsaraan menjadi 27,81%, suatu tingkatan yang tinggi.

BI memperkirakan bahwa tingkat inflasi pada akhir tahun akan menurun menjadi 8%. Perkiraan ini sejalan dengan perkiraan para pelaku ekonomi di sektor keuangan. Namun tidak demikian halnya untuk pelaku ekonomi di sector rill dan rumah tangga, khususnya yang berpendapatan rendah. Pelaku ekonomi di sector keuangan melihat inflasi ke depan (ekspektasi rasional), sedangkan pelaku ekonomi di sector riil dan rumah tangga melihat inflasi kebelakang (adaptif) melakukan penyesuaian dengan perubahan harga-harga.

Sektor keuangan sebagaimana BI memperhatikan inflasi inti (core inflation), dengan mengesampingkan perubahan harga bahan pangan dan energi, yang tingkatannya jauh lebih rendah dari inflasi berdasarkan indeks harga konsumen, yaitu 9,36%. Karena itu kita melihat terjadinya penguatan nilai rupiah, dan peningkatan yang cukup besar indeks pasar modal. Lembaga peringkat internasional juga menaikan outlook menjadi positif yang kemungkinan diikuti oleh Moody’s, sekalipun Fitch menurunkan outlook menjadi stabil. Pertanyaannya adalah seberapa lama modal jangka pendek sekitar $ 6-8 miliar akan bertahan. Ini sangat bergantung pada apakah ekspektasi inflasi sebesar 8% akan tercapai atau tidak.

Sedangkan sektor riil secara bertahap menyesuaikan harga jual produknya karena kenaikan harga energi, transportasi, upah dan kredit. Mereka tidakl sekaligus melakukan penyesuaian harga karena mempertimbangkan daya beli masyarakat. Produsen berbagai produk menyesuaikan harga dengan meniakan sekitar 10% tahun 2005, dan tahun 2006 kemungkinan juga akan meniakan harga lagi sekitar 10%, kenaikan harga ini belum mempertimbangkan kemungkinan kenaikan TDL.

Jika pelaku ekonomi di sektor keuangan memperkirakan inflasi pada akhir tahun 2006 sekitar 7-8%, maka pelaku ekonomi di sektor rill pada umumnya memperkirakan inflasi sekitar 10-12%. Kesenjangan dalam memperkirakan tingkat inflasi ini juga memperlihatkan kesenjangan yang semakin melebar antara sektor riil dan keuangan. Perbankan sebagai bagian terbesar dari sektor keuangan fokus alokasi kreditnya semakin mengarah pada kegiatan konsumsi yang sasarannya adalah end user dan semakin selektif dalam memberikan kredit kepada perusahaan.

Kecenderungan pertumbuhan ekonomi juga mengalami pelemahan. Pada Triwulan I/2005 pertumbuhan ekonomi tergolong tinggi 6,1%, kemudian per triwulan berikutnya mengalami penurunan berturut-turut menjadi 5,9% kemudian 5,3% dan kemungkinan dalam triwulan IV/2005 pertumbuhan di bawah 5%. Menurunnya pertumbuhan ini memperburuk tingkat pengangguran. Kecenderungannya pengangguran terus meningkat ke 11%, apalagi dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5% pada tahun 2006.

Bagi sektor rill dan rumah tangga, berbeda dengan sektor keuangan, kenaikan harga pangan dan energi merupakan komponen besar dalam pengeluaran mereka. Bagi rumah tangga deng inflasi akhir tahun sebesar 8% sekalipun, ditambah dengan tingkat pengangguran kemungkinannya sekitar 11%, maka tingkat kesengsaraan mereka masih tinggi yaitu 17%. Apalagi jika upaya pengendalian inflasi ini tidak mencapai sasaran.

Jika inflasi dapat menurun menjadi single digit sekalipun, kondisi masyarakat berpendapatan rendah sangat berat karena daya beli mereka yang mengalami penurunan, dan bagi yang menganggur sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Bagi masyarakat berpendapatan tinggi keadaanya kemungkinan lebih baik, karena dengan asset financial mereka memperoleh keuntungan dari meningkatnya suku bunga deposito dan perkembangan pasar modal, serta kegiatan di sektor keuangan lainnya. Karena itu kesenjangan antara kaya dan miskin semakin mengkhawatirkan.

Menghadapi situasi seperti ini, pemerintah memang telah membuat kebijakan untuk mengatasinya. Untuk mengendalikan inflasi, pemerintah antara lain melakukan impor beras. Namun kebijakan ini mendapatkan tantangan tidak saja dari petani dan pemerintah daerah, tapi juga dari Menteri Pertanian sendiri dan partai politik, terutama PKS dan PDIP. Berlanjutnya kontroversi impor beras ini tentu saja mempersulit upaya pemerintah untuk mengendalikan inflasi.

Pemerintah juga telah melakukan cash transfer kepada golongan miskin dengan dana sebesar Rp. 100 ribu per bulan. Pada awalnya program ini banyak mengalami kritikan dan salah sasaran, namun dengan beberapa perbaikan efektifitas program dapat ditingkatkan. Tetapi jangkauannya sangat terbatas dan begitu pula efektifitasnya untuk membantu golongan miskin tidak optimal.

Proyek-proyek padat karya seperti infrastruktur pedesaan telah direncanakan dan dianggarkan, namun pencairan dananya mengalami keterlambatan karena prosedur pencairan yang semakin rumit dan keengganan birokrat di pusat dan daerah untuk melaksanakan proyek karena gencarnya investigasi terhadap tindak korupsi. Apakakah program dan proyek pemerintah akan lebih efektif pada tahun 2006 masih harus dibuktikan karena permasalahan yang sama masih harus dipecahkan.

Bagi pemerintahan SBY-JK tantangan besarnya adalah bagaimana mendorong pemulihan dan perkembangan ekonomi yang dapat berlangsung memperbaiki kesejahteraan rakyat. Mengembalikan stabilitas makro saja tidak memadai dalam lingkungan politik yang demokratis ini. Kita ingat pada masa pemerintahan Megawati dimana stabilitas makro baik, sebagaimana diperlihatkan oleh rendahnya inflasi dan suku bunga, namun rendahnya pertumbuhan dan meningkatnya pengangguran menimbulkan kekecewaan yang meluas, yang akhirnya ,memberikan sumbangan besar terhadap kekalahan PDIP dan Megawati.

Harapan terhadap perbaikan kesejahteraan demikian tinggi terhdapa pemerintahan SBY-JK. Stabilitas ekonomi kemungkinan akan membaik, namun dengan pertumbuhan rendah pengangguran cenderung meningkat dan kesejahteraan masyarakat menurun. Apalagi jika program dan proyek pemerintahan yang bersifat langsung memperbaiki kesejahteraan masyarakat tidak berjalan dengan efektif. Kekecewaan masyarakat akan meluas, sekalipun kecil kemungkinannya untuk bermuara pada kerusuhan sosial.

Karena itu tidak ada jalan lain kecuali memperbaiki mekanisme pencairan anggaran di pusat dan daerah dan mengefektifkan proyek-proyek pembangunan yang dapat menciptakan kesempatan kerja terutama bagi golongan bawah. Kebijaksanaan yang memfasilitasi peningkatan investasi riil, perpajakan, kepastian kontrak dan ketenagakerjaan harus secara berarti mengalami perbaikan untuk tidak saja mencegah penurunan kembali pertumbuhan investasi tetapi bahkan untuk meningkatkannya.

Sumber : Umar Juoro/Cides

Tidak ada komentar:

Posting Komentar